Di tengah dunia yang semakin rapuh, ditandai dengan era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible), isu kepemimpinan kian krusial. Pemimpin masa kini tidak hanya berhadapan dengan disrupsi teknologi, konflik geopolitik, krisis lingkungan, hingga kesenjangan generasi, tetapi juga persoalan internal organisasi seperti compulsory citizenship behavior, quiet quitting, hingga tuntutan purpose-driven organization. Belum lagi tantangan pribadi pemimpin sendiri, mulai dari risiko narsisisme hingga burnout. Dalam pusaran turbulensi ini, muncul pertanyaan kritis, masihkah gaya kepemimpinan tradisional relevan, atau justru dibutuhkan model kepemimpinan kontemporer yang lebih adaptif, kolaboratif, dan visioner?
Guru Besar FEB UGM di bidang Psikologi dan Perilaku Organisasional, Prof. Gugup Kismono, menegaskan bahwa tidak ada formula tunggal untuk kepemimpinan efektif. Menurutnya, efektivitas kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh dinamika internal dan eksternal organisasi.
“Di internal organisasi, SDM terdiri dari berbagai generasi yang memiliki orientasi perilaku berbeda. Walaupun ada proses sosialisasi, internalisasi nilai sering berjalan tidak sempurna sehingga konflik mungkin terjadi. Sedangkan, lingkungan eksternal jauh lebih tidak dapat dikendalikan sehingga kepemimpinan kolaboratif akan lebih penting dibandingkan kepemimpinan konvensional berbasis positional power,” ujar Gugup.
“Di dalam organisasi, kita menghadapi SDM lintas generasi dengan orientasi perilaku yang berbeda. Proses internalisasi nilai sering kali tidak berjalan sempurna sehingga berpotensi menimbulkan konflik. Sementara itu, faktor eksternal jauh lebih tidak terkendali. Karena itu, kepemimpinan kolaboratif akan lebih relevan dibandingkan model konvensional berbasis positional power,” jelas Gugup.
Ia menambahkan situasi saat ini sangat berbeda dengan masa lalu. Dahulu, lingkungan yang relatif stabil menjadikan pemimpin dengan pengetahuan paling lengkap sebagai pusat ketergantungan, dan keputusan top-down dianggap efektif.
“Berbeda dengan sekarang, pemimpin harus mampu mengandalkan non-positional power dengan memperkuat kolaborasi dan menyiapkan ruang agar anggota dapat berkontribusi lebih. Pemimpin harus rela menurunkan ego, memberi ruang bagi generasi muda, dan menyiapkan arena agar mereka berkontribusi,” jelasnya.
Selain kolaboratif, kepemimpinan kontemporer juga dituntut memiliki fleksibilitas, kemampuan adaptasi, serta agility untuk mengintegrasikan berbagai dimensi yang kerap bertolak belakang. Gugup menyebut konsep extremity leadership sebagai keniscayaan bagi pemimpin masa kini.
“Kekakuan dalam memimpin perlu dikurangi, diganti dengan fleksibilitas agar berbagai dimensi yang bertolak belakang bisa diintegrasikan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi,” tambahnya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya peran pendidikan tinggi dalam menyiapkan calon pemimpin masa depan. Misalnya, kurikulum di FEB UGM telah dirancang untuk melahirkan business leaders yang tangguh melalui pembelajaran project-based learning, kerja kelompok, hingga keterlibatan langsung dengan masyarakat.
“Kurikulum di FEB UGM telah diarahkan untuk membekali mahasiswa dengan critical thinking, empati, nilai etika, serta kemampuan beradaptasi. Semua itu melatih empati dan mengembangkan karakter mahasiswa,” ungkapnya.
Ia pun berpesan kepada generasi muda untuk selalu siap menghadapi perubahan. Sebab, ketidakpastian adalah keniscayaan.
“Perubahan begitu cepat dan arah masa depan sulit diduga. Apa yang kita siapkan hari ini bisa saja nanti tidak relevan. Untuk generasi muda, kalian harus menjadi champion of change sehingga penting untuk menjadi fleksibel, agile, adaptif.” pungkasnya.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptinigrum
Sustainable Development Goals
