
Dalam kehidupan perkuliahan, mahasiswa kerap dihadapkan pada berbagai pilihan, mulai dari ajakan hangout, nongkrong sepulang kuliah, hingga perjalanan mendadak di akhir pekan. Sementara di saat yang sama, terdapat deadline tugas yang menanti untuk diselesaikan. Di balik semua aktivitas tersebut, sering kali muncul pertanyaan: apakah kita melakukannya karena benar-benar ingin atau hanya karena takut mengecewakan orang lain?
Psikolog dari Career and Student Development Unit (CSDU) FEB UGM, Anisa Yuliandri, S.Psi., M.Psi., menjelaskan kecenderungan untuk selalu menyenangkan orang lain dikenal sebagai people pleaser. Fenomena ini banyak dijumpai di kalangan mahasiswa yang ingin menjaga relasi, memperoleh pengakuan, atau menghindari konflik. Sayangnya, sikap tersebut bisa menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan mental, menurunkan produktivitas, bahkan menghambat perkembangan diri.
Apa Itu People Pleaser?
Anisa menyampaikan people pleaser adan istilah informal yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang cenderung mengutamakan kepentingan orang lain demi menjaga hubungan atau citra baik, meski harus mengorbankan kenyamanan pribadi.
“Biasanya, mereka sulit mengatakan tidak karena takut dianggap egois atau tidak bertanggung jawab, atau tidak cukup baik,” jelasnya, Jum’at (3/10/2025) di FEB UGM.
Di balik sikap ini, lanjutnya, ada dorongan mendalam untuk diterima dan dicintai. Seperti dalam teori hierarki kebutuhan Maslow, setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia akan mencari rasa memiliki dan ingin dihargai oleh lingkungannya. Inilah yang membuat banyak mahasiswa berusaha hadir, membantu, dan tersedia kapanpun ketika dibutuhkan, semata-mata agar dianggap penting dan berharga oleh lingkungan sekitar meski seringkali mengabaikan dirinya sendiri.
Mengapa Perilaku Ini Muncul?
Anisa menjelaskan bahwa perilaku people pleaser tidak muncul begitu saja. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya mulai dari pola relasi masa lalu, tekanan sosial, hingga budaya kampus yang serba cepat. Sejumlah alasan yang biasanya menyebabkan seseorang mengalami people pleaser antara lain pola asuh dengan cinta bersyarat, misalnya anak hanya dipuji saat berperilaku baik dan kehilangan kasih sayang ketika menolak atau menunjukkan emosi. Lalu, ketakutan akan penolakan juga menjadi penyebab people pleasure karena individu dengan ketakutan ditolak (anxious attachment) cenderung menjaga hubungan dengan segala cara, termasuk mengorbankan dirinya.
“Lingkungan yang menuntut produktivitas tinggi, budaya kampus yang kompetitif sering membuat mahasiswa merasa harus selalu sibuk agar diakui juga mendorong orang menjadi people pleasure,” jelasnya
Apa yang Bisa Dilakukan?
Berhenti menjadi people pleaser bukan berarti berhenti menjadi orang baik. Justru, ini adalah proses menjadi orang baik yang juga sehat secara emosional, yang peduli pada orang lain tanpa mengabaikan diri sendiri. Anisa menyampaikan sejumlah langkah yang dapat dilakukan agar tidak menjadi people pleasure. Salah satunya menyadari kondisi dengan memahami bahwa sebagai individu tidak harus menyenangkan semua orang. Lalu, menetapkan batasan untuk menjaga kesehatan mental. Gunakan prinsip prioritas dengan membuat daftar kegiatan yang selaras dengan nilai dan tujuan hidup. Berikutnya, memberi jeda sebelum menjawab dengan menghindari kebiasaan langsung berkata ya tanpa pertimbangan.
Selanjutnya, berkata tidak dengan jujur dan sopan. Menolak permintaan bukan berarti menyakiti orang lain, namun menjadi cara sehat untuk menetapkan batas secara sehat. Dengan bersikap asertif, melatih keseimbangan antara kepedulian terhadap orang lain dan kepedulian terhadap diri sendiri. Tidak kalah penting adalah membangun lingkungan yang sehat dengan membiasakan saling menghormati batas antar individu.
“Manfaatkan pula dukungan yang sudah tersedia. Di FEB UGM melalui CSDU yang menyediakan layanan konseling gratis bagi mahasiswa,” ucapnya.
Anisa menekankan mahasiswa perlu memahami bahwa mereka tidak harus menjadi segalanya bagi semua orang. Sebab semakin sibuk memenuhi harapan orang, semakin jauh seseorang bisa tersesat dari diri sendiri.
“Berhentilah sebentar, dengarkan dirimu, dan jangan ragu untuk menetapkan batas. Karena yang paling layak diperjuangkan adalah dirimu sendiri,” tegasnya.
Sumber: CSDU FEB UGM