Pererat Kerjasama, FEB UGM dan Lee Kong Chian School of Business SMU Gelar Seminar dan Kunjungan Industri
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1329
Pada Rabu dan Kamis, 26-27 Juni 2019, 15 delegasi dari Lee Kong Chian School of Business, Singapore Management University (LKCBS SMU) yang dipimpin oleh Prof Tan Chin Tiong, Senior Advisor to President dan Prof Gerry George, Dekan LKCBS SMU melakukan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mempererat kerjasama akademik antara kedua belah pihak. Kunjungan tersebut juga dimaksudkan sebagai brainstorming untuk kegiatan-kegiatan akademik selanjutnya yang diharapkan akan dapat lebih memberikan dampak bagi masyarakat, seperti yang disampaikan oleh Dekan FEB UGM, Eko Suwardi, M.Sc., PhD. ketika membuka acara sekaligus memberikan ucapan selamat datang. Kunjungan yang berlangsung selama dua hari tersebut terdiri atas seminar dengan tema "The Latest Indonesian Economics and Development dan kunjungan industri". Seminar berlangsung selama dua jam tersebut menghadirkan tiga orang dosen FEB UGM yaitu Singgih Wijayana, Ph.D. (Departemen Akuntansi), Boyke R. Purnomo, Ph.D., CFP. (Departemen Manajemen), dan Sekar Utami Setiastuti, Ph.D. (Departemen Ilmu Ekonomi).
Sesi pertama adalah penyampaian diskusi mengenai perkembangan terkini pemanfaatan IFRS di Indonesia oleh Singgih Wijayana, Ph.D. Singgih menjelaskan bahwa laporan keuangan IFRS berawal dari krisis ekonomi global yang berlangsung pada tahun 2008 hingga 2009. Dengan tujuan mempromosikan stabilitas keuangan internasional, para pemimpin negara-negara G20 bertemu secara teratur untuk membahas kebijakan untuk memperkuat ekonomi global dan meningkatkan regulasi keuangan. Selain itu, laporan keuangan IFRS yang berkualitas tinggi ini dianggap dapat mendorong aliran modal lintas negara, meningkatkan efisiensi pasar modal, dan mengurangi biaya modal. Tantangan yang muncul akibat implementasi IFRS saat ini utamanya adalah bahasa, biaya persiapan, pelaksanaan, dan tanggung jawab ekonomi. Singgih memberi contoh kasus pada penerapan perusahaan telecommunication tower. Lima perusahaan yang menjadi 82% pangsa pasar bisnis telecommunication tower di Indonesia telah terdaftar secara publik. Mereka mengakui telecommunication tower sebagai investment property (PSAK13 / IAS40), sedangkan perusahaan yang tersisa yairtu 18% bisnis telecommunication tower dimiliki oleh perusahaan kecil dan tidak terdaftar untuk umum. Mereka mengakui telecommunication tower sebagai Property, Plant, and Equipment (PSAK 16 / IAS16).
Acara dilanjutkan dengan pemaparan materi dengan tajuk "Ekonomi Kreatif Indonesia: Pengembangan, Dinamika, dan Tantangannya" oleh Boyke R. Purnomo, Ph.D., CFP. Boyke menuturkan saat ini meskipun klasifikasi dan inisiatif kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, implementasi di tingkat daerah dapat dibuat berbeda. Hal ini dikarenakan beberapa pemerintah daerah menafsirkan industri kreatif sebagai ekonomi berbasis budaya dan fokus pada pelestarian budaya seperti contoh pada Kota Yogyakarta dan Surakarta, sedangkan Kota-kota lain menafsirkan industri kreatif sebagai sektor ekonomi berbasis pengetahuan dan teknologi dan fokus pada inovasi dan pembelajaran pengetahuan, seperti halnya Kota Bandung dan Cimahi. Saat ini, terdapat 16 sub sektor potensial untuk digerakkan. Dari sektor-sektor tersebut yang telah berkembang hingga ke pasar ekspor secara signifikan adalah sub sektor yaitu culinary, fashion, dan craft. Boyke mengatakan, ada tiga pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi perbedaan interpretasi tersebut. Pertama, a top-down approach, yang telah dilaksanakan terutama dipengaruhi oleh inisiatif nasional dan provinsi melalui "proyek percontohan kota kreatif" seperti di Yogyakarta dan city branding strategy atau di Cimahi. Kedua, a bottom-up approach, yang telah diterapkan di Bandung, dimana komunitas kreatif memainkan peran yang lebih aktif dalam memprakarsai dan mengembangkan industri-industri ini melalui acara dan festival. Terakhir, a mixed approach, Boyke mengambil contoh di Kota Surakarta, kolaborasi telah dilakukan dengan baik melalui program bantuan pemerintah ataupun inisiatif dari masyarakat. Menurutnya, tantangan Indonesia dalam menghadapi ekonomi kreatif yaitu perkembangan yang tidak merata dalam seluruh sub sektor, perkembangan yang tidak merata dalam provinsi, keterbatasan akses keuangan dan modal, memperluas pasar ke pasar luar negeri, serta tingkat pendidikan yang relatif rendah.
Hari kedua, Kamis, 27 Juni 2019, kegiatan dilanjutkan dengan melakukan kunjungan industri. Perusahaan pertama yang dikunjungi adalah Otazen, sebuah perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang bergerak di industri export furniture yang berlokasi di Klaten. Kunjungan tersebut diterima langsung oleh pemilik Otazen, Mr. David Casademon. Pertanyaan seputar strategi bisnis, pemilihan lokasi, operasional, dan SDM mengemuka dan menjadi diskusi yang hidup selama kurang lebih 1.5 jam. Presentasi dari Otazen dilanjutkan dengan touring pabrik. Pertanyaan yang sama disampaikan ketika delegasi berkesempatan mengunjungi Bucini, sebuah industri pengolahan kulit kualitas ekspor yang berlokasi di Berbah. Perusahaan terakhir yang dikunjungi adalah PT Aino. Anak perusahaan PT Gama Multi Usaha Mandiri (GMUM) ini menjadi pilihan untuk dikunjungi karena bentuk industrinya yang berbeda dengan dua perusahaan sebelumnya selain karena kecenderungan start-up business yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan ini. Delegasi tertarik dengan materi yang disampaikan oleh perwakilan dari PT Aino yang sebagian besar adalah milenial, sehingga diskusi terutama terkait strategi yang digunakan PT Aino untuk bisa berkompetisi dengan start-up sejenis menjadi pembahasan yang menarik. Delegasi juga diberikan kesempatan untuk melihat langsung proses bisnis dan beberapa prototype yang dikembangkan oleh PT Aino.
Sumber: Sony Budiarso/OIA FEB UGM