Positivisme: Paradigma Dominan dalam Penelitian Akuntansi dan Bisnis
- Detail
- Ditulis oleh Kirana
- Kategori: Berita
- Dilihat: 37193
Filsafat menjadi dasar pengembangan penelitian akuntansi dan bisnis sebagai upaya memahami realitas melalui pemikiran sistematis, kritis, dan radikal. Filsafat membantu mengembangkan riset dan menghasilkan kebaruan (novelty) juga inovasi (breakthrough) dengan memanfaatkan paradigma untuk dapat memberikan jawaban terbaik dalam praktik. Hal tersebut diungkapkan oleh Heyvon Herdhayinta, S.E., M.Sc., Ph.D. selaku pembicara dalam rangkaian kedua seri webinar bertema “Filsafat dan Pendekatan Penelitian Akuntansi dan Bisnis” pada Jumat (16/04). Seri webinar ini diselenggarakan oleh Laboratorium Akuntansi, Departemen Akuntansi FEB UGM bersama Program Studi Magister Sains dan Doktor (MD) FEB UGM dan pada rangkaian kedua berfokus menelaah lebih lanjut mengenai paradigma positivisme dan neo-positivisme.
Acara dibuka oleh Master of Ceremony (MC), Meliani Mukti, sekaligus memperkenalkan moderator sebagai pemandu berjalannya sesi diskusi, yaitu Achmad Masyhadul Amin, S.E., M.Sc. Acara berlanjut ke sesi inti penjelasan paradigma positivisme oleh pembicara. Positivisme dianggap sebagai paradigma mainstream dan dominan karena paling banyak digunakan dalam penelitian akuntansi dan bisnis. “Karakteristik utama dari paradigma ini adalah realitas yang independen dan objektivitas. Artinya, peneliti melihat apa yang ia teliti terpisah dari peneliti sebagai suatu realitas yang objektif,” jelas Heyvon.
Selain itu, terdapat beberapa karakteristik lain dari paradigma positivisme yang diterangkan Heyvon. Paradigma positivisme cenderung mirip atau mengadopsi pendekatan ilmu alam dan juga mampu menjelaskan suatu fenomena regularitas perilaku sosial manusia secara universal dan kausal. Jika dibandingkan dengan neo-positivisme atau yang dikenal juga sebagai post-positivisme, keduanya masih sama-sama menganut realitas yang sifatnya objektif. Namun perbedaannya, neo-positivisme mulai mempertimbangkan interpretasi subjektif aktor untuk lebih memahami perilaku manusia misalnya dengan mempertimbangkan konteks atau kulturnya.
Selanjutnya, Heyvon juga menjelaskan mengenai metode riset positivisme dan implikasi paradigma tersebut terhadap riset. Desain penelitian positivis umumnya menggunakan metodologi riset kuantitatif dengan data sekunder, eksperimen, ataupun survei. Terdapat sekitar delapan poin implikasi positivisme terhadap riset yang diantaranya data yang dianalisis dapat diuji apakah mendukung hipotesis (testability) dan lebih memilih solusi yang sederhana dalam riset daripada yang kompleks dengan banyak faktor (parsimony).
Menurut Heyvon, keterbatasan serta kritik terhadap positivisme juga perlu menjadi pertimbangan peneliti dalam melakukan risetnya. Paradigma positivisme biasanya hanya mengamati “permukaan” yang tampak tanpa memahami makna secara lebih dalam. Tujuan dari paradigma ini pun untuk mencapai generalisasi di mana faktanya ada hal-hal seperti perilaku manusia yang tidak bisa digeneralisasi dan akan tetap ada unsur subjektivitas.
Reportase: Kirana Lalita Pristy/Sony Budiarso.