Interpretivisma, “Payung” untuk Menjelaskan Fenomena Konstruk Sosial dalam Realita
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2191
Pemahaman Filsafat pada pendekatan riset sangatlah penting bagi peneliti dalam melakukan Penelitian Akuntansi dan Bisnis. Pada Jum'at (23/4), Program Magister Sains dan Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) berkolaborasi dengan Laboratorium Departemen Akuntansi FEB UGM menyelenggarakan webinar ketiga dalam ketujuh seri webinar bertema “Filsafat dan Pendekatan Penelitian Akuntansi dan Bisnis” yang membahas berbagai paradigma yang berbeda pada tiap sesinya. Seri ke-3 webinar kali ini mengusung topik bahasan mengenai ‘Paradigma Interpretivisma’ dalam Penelitian Akuntansi dan Bisnis. Webinar ini diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom Meetings dan dapat disimak juga melalui Kanal Youtube Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Moderator yang memantik diskusi pada webinar kali ini adalah Achmad Faizal Azmi S.E., B.Sc., M.Sc, Dosen FEB UGM. Narasumber yang akan membahas topik Paradigma Interpretivisma adalah Dian Kartika Rahajeng, S.E., M.Sc., Ph.D, Dosen FEB UGM sekaligus Kepala Laboratorium Departemen Akuntansi Universitas Gadjah Mada.
Ajeng mengawali diskusi dengan menjelaskan konsep dasar filsafat dan penelitian. Ia menyampaikan bahwa memahami filsafat dan paradigma adalah cara pandang memaknai fenomena atau suatu realita. “Fenomena memang ada di depan kita, tapi bagaimana kita melihatnya, akan membawa definisi kebenaran dalam cara pandang tertentu. Ini yang menjadi perdebatan”, paparnya.
Ajeng mengutarakan bahwa perbedaan cara pandang bukanlah sesuatu yang salah, sebab filsafat adalah mengenai bagaimana cara seseorang melihat sesuatu dan dari bagaimana cara manusia bereaksi atas fenomena, dan memaknai suatu situasi tersebut. Terkait fenomena apa yang ingin dipelajari, saat kemudian manusia melihat banyak fenomena spesifik, menurutnya, manusia akan fokus pada suatu fenomena, dan memilih sebuah realita untuk diulas.
“Setelah memahami dan melihat sesuatu, misalnya ada fenomena startup, fintech, fraud. Kita tidak membatasi diri dalam konsep yang dasar. Yang kita jelaskan lebih dari itu, contohnya lebih ke kehidupan, how we see and understand things, bagaimana dan apa yang ingin dipelajari, dari situ kita akan mengetahui bagaimana suatu realitas data dipahami, dikembangkan, dan diimplementasikan”, ungkap Ajeng.
Setelah memahami dan melihat fenomena, perlu untuk menyusun, Epiostemologi, yaitu apa tujuan dan manfaat kita dalam fenomena yang akan diteliti hingga kemudian memilih metodologi dan pendekatan riset, menetapkan paradigma, dan menetapkan instrumen yang tepat untuk penelitian.
Terkait definisi, menurut Ajeng, Paradigma Interpretivisma mengandung ilmu interaksi antar manusia yang akan mengandung ilmu sosiologi. Sebab, pandangan Interpretivisma diperoleh dari realita dekonstruksi oleh aktor-aktor didalamnya, yaitu konstruk sosial yang didalamnya banyak individu. Pendekatan Interpretivisma ini berpendapat bahwa pengetahuan itu dimediasi oleh proses intrepretasi oleh aktor-aktor sosial yang diukur dengan proses logis dan intrepretasi yang subjektif, ditujukan pada individu atau konstruk sosial.
“Misalnya melihat fenomena kasus fraud, kita tahu realita fraud bagaimana sih orang-orang atau individu didalamnya bereaksi dalam fenomena atau kasus ini. Hal ini sangat logis untuk mendefinisikan kasus fraud dari perspektif terdampak, untuk mengetahui apa sebenarnya yang mereka rasakan”, kata Ajeng.
Oleh karena itu, metode penelitian dalam Paradigma Interpretivisma yang dapat digunakan salah satunya menggunakan wawancara dan observasi Intrepretasi subjektif yang diselaraskan intrepretasi para aktor. Tak terbatas kedua hal itu, metodologi yang digunakan dalam pendekatan Interpretivisma sangat beragam, misalnya menggunakan metode Etnografi, dimana manusia menempatkan diri pada lingkungan dan ekosistem tersebut dalam durasi yang lama untuk memahami konstruk sosial yang ada.
Ajeng mengatakan bahwa Interpretivisma menjadi “payung” beberapa pemikiran yang berbeda seperti fenomenologi, hermeneutika, interaksi simbolik, dan sebagainya. Interpretivisma adalah payung yang sangat luas yang kemudian bisa menjelaskan dan memandang fenomena dalam konstruk sosial dalam realita. Namun, terkadang interpretivisma sering kali sering ditempatkan dalam dikotomi dengan pendekatan positivisma dan dikaitkan dengan istilah seperti post-positivisma, sehingga batas dengan Paradigma Positivisma menjadi kurang jelas. Ini disebabkan karena Positivisma juga mengatakan bahwa manusia itu menjadi aktor sentral dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), perlu dipertimbangkan persepsi mereka, opini mereka, dan perspektif mereka. Ia mengutip pendapat Lincoln (2011) yang mengatakan bahwa pada tingkat filosofis, interpretivisma memegang pandangan yang yang kontras tetapi terdapat tumpang tindih metodologi, sehingga batas paradigma menjadi kabur.
Terakhir, Ajeng menyampaikan tantangan dalam melakukan penelitian dengan pendekatan Interpretivisma.
“Sebagai seorang peneliti, harus meng-capture semua fenomena dan persepsi dalam fenomena tersebut. Misalnya aktor A, B, dan C memiliki perspektif yang berbeda-beda. Tantangannya di dalam Interpretivisma kalau ada miss saja, misalnya akan mendekati A dan B saja tanpa C, dan D maka tidak lengkap. Pada saat interview, kita harus mendapatkan perspektif yang luas yang bisa menjelaskan fenomena dari berbagai sisi.”, jelasnya.
Terkait keunggulan, menurut Ajeng, Paradigma Interpretivisma memiliki keunggulan yaitu validitas internal yang lebih tinggi, data kualitatif yang kaya dan eksploratif, serta mampu mendengarkan suara dan insight individu dari komunitas yang sulit atau tak tersentuh. Sedangkan keterbatasannya adalah objektivitasnya yang kurang, populasi yang terbatas, dan rawan akan kemungkinan kehilangan reliabilitas dari penelitian sebelumnya.
“Kaca mata itu tidak bisa dibandingkan bagaimana kita melihat sesuatu, itu tergantung fenomena yang akan diteliti, tidak ada yang benar tidak ada yang salah, tapi yang harus kita pastikan adalah kita memakai kaca mata yang tepat, that’s point”, pungkas Ajeng.
Reportase: Sony Budiarso/Kirana Lalita Pristy