Fenomenologi: Apa yang kita rasakan secara indrawi tidak selalu sama dengan yang kita maknai
- Detail
- Ditulis oleh Kirana
- Kategori: Berita
- Dilihat: 131533
Pengenalan serta pemahaman terhadap filsafat dan pendekatan riset sangatlah penting bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Hal tersebut menjadi esensi diselenggarakannya seri webinar bertema “Filsafat dan Pendekatan Penelitian Akuntansi dan Bisnis” oleh Laboratorium Akuntansi, Departemen Akuntansi FEB UGM bersama Program Studi Magister Sains dan Doktor (MD) FEB UGM yang terdiri dari 7 rangkaian seri dan membahas berbagai paradigma berbeda tiap sesinya. Pada Jumat (30/04), rangkaian sesi ke-4 seri webinar berhasil dilaksanakan dengan mengusung topik bahasan aspek filosofis dan metodologi paradigma fenomenologi.
Fenomenologi bisa diartikan sebagai studi tentang pengalaman hidup seseorang atau metode untuk mempelajari bagaimana individu secara subjektif merasakan pengalaman dan memberikan makna dari fenomena tersebut. Penjelasan tersebut diutarakan oleh Rijadh Djatu Winardi, S.E., Ak., M.Sc., CFE sebagai pembicara dalam kesempatan itu. Menurut Rijadh, seringkali apa yang kita rasakan secara indrawi akan berbeda dengan apa yang kita maknai. “Fenomenologi mencoba untuk menangkap tidak hanya sesuatu yang kita perceive secara indrawi, tetapi juga mencoba mempelajari struktur dari pikiran kita mengenai suatu objek yang kita lihat,” tambahnya.
Berdasarkan penjelasannya, paradigma fenomenologi juga erat kaitannya dengan studi kesadaran (study of consciousness). Beberapa metode bisa diterapkan dalam melakukan studi pengalaman sadar adalah dengan mendeskripsikannya atau menginterpretasikannya untuk dihubungkan kepada konteks yang relevan. Menurut Husserl mengenai teori fenomenologi murni/transcendental, terdapat 6 konsep kunci yaitu intensionalitas, noema, noesis, epoche (reduksi fenomenologis), reduksi eidetik, dan esensi pengalaman.
Sedangkan menurut Heidegger mengenai teori fenomenologi hermeneutik, reduksi tidak mungkin dilakukan dan untuk memahami fenomena perlu untuk mengetahui individu yang mengalami pengalaman tersebut. Berbeda juga dari teori sebelumnya, interpretasi adalah bagian yang terintegrasi dalam memahami paradigma ini dalam fenomenologi hermeneutik. Selain itu, fenomenologi sebagai metodologi dapat dibedakan menjadi fenomenologi deskriptif dan interpretatif.
Di akhir pemaparannya, Rijadh juga menjelaskan mengenai kekuatan dan batasan dari paradigma fenomenologi. Paradigma fenomenologi dianggap cocok untuk menggali masalah yang kompleks dan juga menjadi alat yang ampuh untuk menghasilkan pemahaman akan pengalaman hidup serta keberadaan manusia. Paradigma ini juga memungkinkan peluang untuk memperluas batas penelitian dan memperkaya data empiris dari sebuah penelitian. Di sisi lain, fenomenologi dapat menjadi ‘menakutkan’ karena perlunya untuk memahami aspek yang terbilang sulit dan data yang banyak. Fenomenologi juga dapat membatasi generalisasi dari hasil penelitian dan dipertanyakan objektivitasnya.
Reportase: Kirana Lalita Pristy/Sony Budiarso.