Meninjau Aspek Ekonomi Politik dari Regulasi Tembakau di Indonesia
- Detail
- Ditulis oleh Rizal
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1806
Jumat (6/10), Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) mengadakan Seminar dan Kuliah Umum (SinarKU) x The 7th Mubyarto Public Policy Forum (MPPF). Dilaksanakan di Auditorium Lantai 8 Gedung Pusat Pembelajaran FEB UGM beserta platform Zoom (hybrid), SinarKU kali ini membedah sisi ekonomi politik dari regulasi serta kebijakan terkait tembakau di Indonesia. Sesi kali ini dihadiri oleh tiga pembicara dengan pengalaman relevan, yaitu Prof. Hasbullah Thabrany (Ketua Umum dari Komite Nasional Pengendalian Tembakau), Dr. Elisabeth Kramer (Dosen Senior University of New South Wales), dan Gumilang Aryo Sahadewo, S.E., M.A., Ph.D. (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerjasama, dan Alumni FEB UGM).
Acara dimulai dengan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan “Himne Gadjah Mada”. Kemudian, perwakilan dari the Australian National University (ANU) Indonesia Project sekaligus moderator seminar kali ini, yakni Dr. Firman Witoelar, memberikan sambutan singkat sekaligus mengenalkan proyek ANU Indonesia Project. ANU Indonesia Project merupakan lembaga riset yang didirikan oleh ANU dengan tujuan untuk mengkaji berbagai isu ekonomi yang ada Indonesia.
Setelahnya, acara berlanjut dengan sesi presentasi materi oleh ketiga narasumber. Pembicara pertama merupakan Prof. Hasbullah Thabrany yang merupakan Ketua Umum dari Komite Nasional Pengendalian Tembakau. Pertama, beliau memaparkan konsekuensi kesehatan dari merokok. Merokok, baik secara aktif maupun pasif, menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan. Terlebih, saat ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO), padahal konvensi tersebut menjadi landasan bagi negara mengontrol konsumsi tembakau di kalangan masyarakat.
Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa rokok seolah telah menjadi kebutuhan “pokok” bagi masyarakat. Pada tahun 2022, 28,26 persen penduduk dewasa di Indonesia merupakan perokok. Tak hanya itu, banyak masyarakat Indonesia yang terperangkap dalam kemiskinan, tetapi juga terjebak adiksi nikotin. Mengutip data dari WHO, Indonesia memiliki tingkat persentase perokok dewasa terbesar dibandingkan negara-negara lain.
Meskipun demikian, paradoks yang muncul adalah industri rokok dianggap sebagai pencetak profit yang fantastis bagi keuangan negara. Jika ditelisik lebih jauh, “kontribusi” tersebut ternyata hanyalah sebagian kecil dari profit perusahaan, dibayarkan melalui pajak penghasilan (PPh). Sementara itu, cukai sendiri lebih dibebankan kepada konsumen sehingga perusahaan tidak perlu membayarnya, meskipun tak dapat dimungkiri bahwa cukai yang terkumpul bernilai signifikan bagi perekonomian. Urgensi pengetatan regulasi tembakau pun menjadi penting. Ekonomi politik yang ada di Indonesia saat ini masih belum mempertimbangkan peluang kerugian akibat rokok, seperti dari aspek kesehatan atau produktivitas rokok.
Usai presentasi tersebut, acara dilanjutkan dengan penjelasan oleh Dr. Elisabeth Kramer, Dosen Senior yang berasal dari University of New South Wales. Sebagai awalan, Kramer turut mengilhami paparan yang telah disampaikan oleh pembicara sebelumnya, yakni terkait dampak buruk dan aspek sosial-ekonomi dari rokok. Menurutnya, perokok umumnya bukanlah seseorang yang mengambil keputusan terbaik, seperti kasus anak kecil di Indonesia yang sudah mengalami adiksi nikotin.
Dr. Elisabeth lalu menekankan pentingnya intervensi pemerintah dalam meregulasi rokok. Namun, kekompleksan muncul dalam regulasi produk adiktif tersebut di tingkat nasional. Ditemukan bahwa kerja sama antar kementerian di Indonesia masih belum efektif dalam menyusun peraturan terkait hal ini. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula berbagai skala dalam penciptaan suatu regulasi yang komprehensif. Terlebih, terdapat faktor-faktor lokal yang mampu mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut nantinya sehingga hal tersebut perlu dimitigasi.
Sebagai penutup, beliau menyimpulkan bahwa kontrol terhadap tembakau perlu dijadikan sebagai prioritas nasional dengan dukungan dari berbagai lapisan pemerintah. Sebuah kerangka regulasi yang holistik perlu dipilih, seperti FCTC ataupun kerangka sejenis. Pemerintah juga perlu memikirkan cara untuk bertransisi agar tidak bergantung pada industri tersebut. Selagi itu, kelompok yang mendukung kontrol tembakau perlu mengadvokasi serta mengampanyekan gerakan ini agar isu dapat didengar oleh pemangku kepentingan.
Paparan materi dilanjutkan oleh Gumilang Aryo Sahadewo, S.E., M.A., Ph.D. selaku Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja sama, dan Alumni FEB UGM. Dr. Gumilang menjelaskan kondisi pekerja yang ada di sektor tembakau. Pekerja yang terlibat dalam sektor ini antara lain adalah pekerja dalam industri rokok, petani tembakau, dan petani cengkeh. Studi menemukan bahwa rumah tangga petani tembakau tidaklah sesejahtera layaknya narasi yang selama ini ada.
Biaya input untuk pertanian tembakau relatif tinggi jika dibandingkan komoditas-komoditas lainnya. Selain itu, petani tembakau memerlukan biaya lebih tinggi dalam memberi upah kepada pekerja, mengingat pertanian tembakau bersifat labor-intensive. Fluktuasi cuaca dan kontribusi profit yang tidak signifikan terhadap rumah tangga juga menjadi permasalahan yang timbul.
Berdasarkan studi empiris, ditemukan bahwa produktivitas dari pekerja di sektor industri tembakau memiliki produktivitas yang rendah dibandingkan dengan pekerja di sektor serupa. Selain itu, terdapat pula gap antara upah yang diterima oleh pekerja pria dan pekerja wanita. Hal ini berkebalikan dengan realitas bahwa pekerja di sektor ini malah didominasi oleh perempuan.
Dr. Gumilang lantas menjelaskan dampak yang mungkin timbul dari keberadaan pajak tembakau. Pajak pada tembakau ataupun regulasi lainnya akan menurunkan permintaan dari rokok, tetapi tidak secara signifikan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Sahadewo et al. (2018) menemukan bahwa peningkatan pajak rokok dengan rerata 47 persen dan penyederhanaan struktur pajak menjadi enam tingkatan akan menurunkan permintaan rokok sebesar 2 persen, meningkatkan penerimaan pemerintah sebanyak 6,4 persen, dan mengurangi gross employment dalam industri ini sebesar kurang dari 0,5 persen.
Di sisi lain, peningkatan pajak akan menurunkan employment dalam sektor industri kretek buatan tangan sekitar 0,22 persen, setara dengan hilangnya pekerjaan untuk 2.245 pekerja. Total pendapatan yang hilang dengan berkurangnya employment tersebut adalah sebanyak 0,1 persen dari pendapatan yang diperoleh pemerintah dari implementasi pajak. Pada akhirnya, petani tembakau akan lebih better off apabila mereka beralih kepada jenis tanaman lainnya.
Hal ini sekaligus menutup sesi pemaparan materi oleh tiga narasumber yang ada. Acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang diikuti secara antusias oleh para audiens, baik yang hadir di lokasi maupun yang tergabung melalui platform Zoom. Dengan demikian, berakhir pula rangkaian SinarKU pada kesempatan kali ini.
Sesi seminar edisi ini merupakan salah satu bentuk tekad dari FEB UGM untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu tujuan nomor tiga sekaligus delapan. Dari tujuan ketiga, upaya pengurangan konsumsi rokok oleh masyarakat akan mampu mengurangi potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari aspek kesehatan. Sementara itu, terkait tujuan kedelapan, keberadaan pajak tembakau akan menimbulkan dampak yang meluas ke berbagai aspek ekonomi, tak terkecuali bagi produktivitas pekerja di sektor tembakau itu sendiri.
Reportase: Rizal Farizi