Dewasa ini, dunia tengah menghadapi berbagai permasalahan sosial-ekonomi yang kian hari semakin kompleks. Sebagai contoh, selama tahun 2020 terdapat 114 juta orang kehilangan pekerjaan, terjadi kenaikan angka depresi hingga 31%, dan juga bertambahnya bencana alam yang diakibatkan semakin parahnya perubahan iklim di dunia. Di masa seperti ini, pemerintah pun dituntut untuk berperan lebih demi mengentaskan berbagai permasalahan tersebut. Memang tidak bisa dibilang mudah, tetapi pemerintah kini tengah berupaya lebih untuk mendorong para wirausaha mendirikan kewirausahaan berbasis sosial sebagai salah satu alternatif solusi atas permasalahan sosial ekonomi.
Bersamaan dengan upaya pemerintah terkait kewirausahaan sosial, secara konsisten peneliti terus mengeksplorasi faktor-faktor yang memprediksi perilaku serta mendorong niat individu untuk menciptakan kewirausahaan sosial. Faktor tersebut dapat kita sebut sebagai intensi kewirausahaan sosial yang mengacu pada keadaan pikiran, khususnya keinginan dan tekad individu untuk mengejar misi sosial, yang mengarahkan tindakan wirausaha dalam menciptakan kewirausahaan sosial (Tiwari et al., 2017; Bacq dan Alt, 2018). Namun demikian, hingga kini masih berlangsung perdebatan apakah kewirausahaan sosial merupakan manifestasi dari moralitas individu. Lebih lanjut, studi terbaru menyangkal bahwa kewirausahaan sosial tidak dilandasi pertimbangan moral karena ada kepentingan egoistis seperti kepentingan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Masih adanya perdebatan tersebut membuat peneliti terus menerus menguji faktor moral dalam memprediksi intensi kewirausahaan sosial. Suatu penelitian pun dilakukan untuk menawarkan penjelasan alternatif yang mungkin dapat menjembatani perdebatan ini. Penelitian tersebut menguji apakah berdirinya bisnis sosial dilandasi oleh pertimbangan moral menggunakan teori pengambilan keputusan etis individu. Proses beserta hasil penelitian tersebut kemudian dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam Journal of Business Venturing Insights yang berjudul "Let ethics lead your way: The role of moral identity and moral intensity in promoting social entrepreneurial intention" oleh Widya Paramita, Nurul Indarti, Risa Virgosita, Rina Herani, dan Bayu Sutikno.
Dibangun berdasarkan model issue-contingent Jones (1991), tujuan utama dari penelitian tersebut adalah untuk menguji apakah intensi kewirausahaan sosial diprediksi oleh identitas moral melalui penilaian etis. Identitas moral mengacu pada sepenting apa menjadi pribadi yang bermoral bagi seorang individu (Hardy dan Carlo, 2011). Sedangkan, penilaian etis merupakan evaluasi individu apakah suatu keputusan etis atau tidak (Jones, 1991). Penelitian juga diperluas melalui pertimbangan kedekatan psikologis dengan masalah sosial sebagai suatu kondisi di mana intensi kewirausahaan sosial dianggap sebagai pengambilan keputusan yang etis.
Studi ini memberikan kontribusi untuk kewirausahaan sosial dan literatur pengambilan keputusan etis. Di antara banyak identitas yang dapat dimiliki individu, penelitian ini memperluas temuan penelitian sebelumnya dengan menunjukkan bahwa tidak hanya identitas sosial dan identitas kewirausahaan mempengaruhi niat wirausaha sosial, tetapi juga identitas moral. Kedua, penelitian ini menetapkan bahwa niat kewirausahaan sosial juga dapat dilihat sebagai keputusan moral karena dibentuk oleh penilaian etis dari keputusan kewirausahaan sosial. Niat kewirausahaan sosial individu dapat dianggap sebagai keputusan moral tergantung pada kualitas moral individu. Ketiga, penelitian ini menambah literatur dengan menetapkan pengaruh moderating yang signifikan dari kedekatan psikologis pada hubungan tidak langsung antara identitas moral dan niat kewirausahaan sosial.
Untuk menguji hipotesis, Peneliti menjalankan analisis regresi menggunakan Hayes' Macro Process dengan menjalankan dua model untuk setiap pengujian hipotesis di mana Model 1 hanya menguji focal construct sementara Model 2 menyertakan variabel kontrol, yaitu, usia dan pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas moral berhubungan positif dengan penilaian moral terhadap pendirian usaha sosial dan intensi pendirian usaha sosial, hanya jika individu memiliki kedekatan psikologis dengan permasalahan sosial tersebut. Dari hasil ini, kedua pendapat dari penelitian terdahulu benar. Intensi mendirikan bisnis sosial bisa jadi berdasarkan pertimbangan moral, bisa juga tidak berasal dari pertimbangan moral. Hal itu tergantung pada kedekatan psikologis antara individu dan permasalahan sosial tersebut. Jika kedekatan psikologisnya tinggi, maka individu dengan identitas moral yang tinggi akan menilai pendirian bisnis sosial sebagai perilaku beretika dan mereka akan memiliki intensi yang tinggi untuk membangun bisnis sosial. Jika kedekatan psikologisnya rendah, maka identitas moral dan penilaian moral tidak akan mempengaruhi intensi untuk mendirikan bisnis sosial.
--
Penulis Paper: Widya Paramita, Nurul Indarti, Risa Virgosita, Rina Herani, dan Bayu Sutikno.
Diterbitkan pada Journal of Business Venturing Insights , Volume 17, June 2022, e00299.
Tautan https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S2352673421000779