Rimawan Pradiptyo, S.E., M.Sc., Ph.D., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) merupakan ekonom yang dikenal aktif menyuarakan isu anti korupsi. Baru-baru ini ia terpilih sebagai salah satu tokoh 2024 menurut majalah Tempo (Tempo, Edisi 30 Desember 2024-5 Januari 2025). Kiprahnya dalam dunia akademik dan advokasi kebijakan telah memberikan kontribusi nyata tidak hanya bagi dunia pendidikan, tetapi juga dalam penanggulangan korupsi dan menjaga keutuhan konstitusi Indonesia.
Kritik terhadap Penanganan Kasus Korupsi
Sebagai ekonom, Rimawan telah berkontribusi dalam mengembangkan metode perhitungan biaya sosial korupsi. Ia menggeluti bidang Ekonomika Kriminalitas sejak 2002 ketika masih menjadi peneliti di Inggris. Rimawan membangun database korupsi berdasarkan putusan pengadilan sejak 2009, dan saat ini telah sampai pada gelombang kelima database korupsi (2001-2018). Rimawan juga menginisiasi pembentukan konsentrasi MSc in Economics of Crime di FEB UGM sejak 2009.
Rimawan mengembangkan metoda penghitungan biaya sosial korupsi sebagai penerjemahan dari kerugian perekonomian akibat korupsi. Metode tersebut telah digunakan sebagai bahan pelatihan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2014. Metode ini telah adopsi oleh Kejaksaan Agung dalam proses penanganan kasus korupsi sejak tahun 2020.
Metode ini memberikan perspektif baru bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian negara. Metode ini memberikan informasi kepada masyarakat terkait besar damages atau kerusakan yang terjadi di perekonomian akibat suatu korupsi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah hukuman yang diberikan sudah mencerminkan upaya mengembalikan kerusakan yang terjadi di perekonomian tersebut? Putusan pengadilan sudah mengakui terjadinya kerugian perekonomian. Namun demikian hukuman yang dijatuhkan belum mengakomodasi besarnya kerugian tersebut.
Ia juga menjadi salah satu akademisi yang lantang menolak revisi UU KPK di 2019. Penolakan tersebut didasarkan pada analisis akademik yang beliau lakukan dan hasilnya diunggah di social science research network (SSRN), situs bagi para akademisi mendiseminasikan hasil risetnya. Langkahnya dalam menyuarakan aspirasi tersebut tidaklah mudah. Bahkan ia menghadapi berbagai ancaman, seperti peretasan ponsel.
“Akun WA saya juga sempat diretas,” ungkapnya.
Peretasan gawai para akademisi tersebut dianalisis mendalam dan dipublikasikan di journal Contemporary Southeast Asia tahun 2022 oleh tim peneliti dari Universitas Diponegoro.
Menginisasi Pergerakan Akademisi
Rimawan dikenal memiliki jejaring yang luas dengan berbagai elemen masyarakat. Ia menginisiasi modal sosial Sambatan Jogja (SONJO; Sonjo.id) selama pandemi COVID-19 melalui media WhatsApp Group (WAG). Di puncak pandemi COVID-19, terdapat 30 WAGs SONJO dengan lebih dari 2300 anggota. SONJO fokus di bidang ekonomi dengan 8 program dan kesehatan dengan 14 program dalam upaya meminimalisasi dampak COVID-19.
Rimawan aktif dalam menjalin komunikasi dengan para akademisi, baik di internal UGM maupun lintas kampus. Pada 2011, Rimawan menginisiasi gerakan Gemati (Gerakan Masyarakat Akademis untuk Transparansi Indonesia), yang saat itu komunikasi masih menggunakan BBM (Blackberry Messenger). pada 2017 Rimawan aktif di gerakan UGM Berintegritas yang mampu mengumpulkan tandatangani lebih dari 1000 dosen UGM mendukung KPK dalam penanganan kasus E-KTP dan menolak Pansus Hak Angket KPK.
Sikap Rimawan yang tegas terhadap revisi UU KPK di 2019, meski menghadapi ancaman menunjukkan keberanian dalam memperjuangkan integritas institusi negara. Tak berhenti di situ, Rimawan terus aktif menyampaikan kritik yang konstruktif dan berbasis bukti dalam menjaga keutuhan konstitusi. Rimawan menginisasi kemunculan sejumlah grup WhatsApp sebagai saluran komunikasi untuk membahas berbagai isu yang tengah berkembang di masyarakat.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 16 Oktober 2023 yang mengubah syarat umur capres dan cawapres menciptakan keresahan di masyarakat sipil dan akademisi. Puncaknya, gerakan yang diinisiasi oleh Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Agus Wahyudi diwujudkan dalam Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024 sebagai bentuk pengingat bagi pemerintah yang dinilai telah menyimpang dari koridor etik dan demokrasi. Petisi ini diikuti oleh petisi-petisi serupa oleh para akademisi di berbagai universitas di Indonesia. Pada 12 Maret 2024, deklarasi Kampus Menggugat melibatkan akademisi dan alumni UGM bertempat di Balairung UGM. Memperingati Hari Kartini, 21 April 2024, gerakan Kampus Menggugat menggelar pernyataan sikap di Balairung UGM untuk menyerukan penegakkan nilai-nilai etika dalam berbangsa dan bernegara.
Rimawan menyoroti permasalahan pelanggaran konstitusi yang tidak lagi hanya berada pada level undang-undang, tetapi langsung menyentuh konstitusi sebagai roh dalam bernegara. Ia mengingatkan bahwa konstitusi adalah landasan utama dan perubahan terhadapnya tidak boleh dilakukan secara serampangan hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir pihak.
“Jika sebagai akademisi kita diam saat negara dalam kondisi genting, jangan-jangan ketika negara diinvasi negara lain pun kita tidak akan bergerak,” jelasnya mengungkapkan alasan pergerakan kala itu.
Rimawan menggarisbawahi peran penting akademisi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Ia menegaskan bahwa amanah konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa tidak berarti hanya membuat masyarakat pandai, tetapi juga berintegritas.
“Akademisi boleh salah, tetapi harus tetap jujur. Posisi UGM sebagai universitas perjuangan harus terus melakukan reposisi, mengkritik kebijakan yang salah, dan mendukung kebijakan yang benar,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya reformasi yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, Rimawan mengajak para akademisi untuk terus memaparkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dan menjadi garda terdepan dalam menjaga demokrasi.
Melalui sikapnya yang tegas dan konsisten, Rimawan Pradiptya tidak hanya memberikan inspirasi bagi mahasiswa dan kolega di UGM, tetapi juga bagi masyarakat luas. Ia menegaskan bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi, dan akademisi memiliki tanggung jawab besar untuk menyuarakan kebenaran demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Dengan semangat ini, Rimawan terus mendorong pentingnya peran aktif semua elemen masyarakat, terutama akademisi, dalam menjaga keutuhan konstitusi dan melawan segala bentuk ketidakadilan.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum
SDG: 4,10,16,17