
Kesempatan berkuliah di luar negeri adalah impian banyak mahasiswa Indonesia, termasuk bagi Steven Nathanael Liyanto (Accounting-IUP 2022). Mahasiswa Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) ini mampu mewujudkan impian itu melalui program Indonesia International Student Mobility Awards (IISMA) tahun 2024. Ia menghabiskan satu semester belajar di University of New South Wales (UNSW), Australia dan membawa pulang segudang pengalaman akademik dan kehidupan.
Dalam program Let’s Go Around the World: Broadening Perspectives Through the Lens of New South Wales yang tayang di kanal YouTube FEB UGM, Steven membagikan pengalamannya berkuliah di UNSW Australia. Ia menjelaskan terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam sistem pembelajaran antara UNSW dan UGM, terutama terkait struktur semester. UNSW menganut sistem trisemester dengan durasi 10 minggu per semester, dimulai pada Februari, Mei, dan September.
Steven memulai kuliah di UNSW pada akhir term 2, yaitu di bulan Agustus. Oleh sebab itu, ia hanya dapat mengambil satu mata kuliah, yaitu Experiencing Sydney Crime dari Fakultas Hukum. Sementara itu, pada term 3 yang dimulai di bulan September, ia mengambil tiga mata kuliah, yaitu Marketing Fundamentals, Digital Transformation in Business, dan The Art of Computing.
Salah satu mata kuliah yang cukup berkesan bagi Steven adalah Experiencing Sydney Crime. Awalnya, ia mengambil mata kuliah ini karena ingin memahami kota Syndey lebih dalam lagi. Namun, ia justru mendapatkan pengalaman belajar yang unik, yaitu jalan-jalan selama perkuliahan.
“Kita disuruh keliling Sydney. Jadi, gak hanya teori dan praktik saja, tetapi juga visualisasi nyata,” ungkapnya.
Tak hanya soal akademik, Steven juga belajar hidup mandiri. Tinggal di dekat pantai Coogee, ia harus belajar memasak sendiri karena mahalnya biaya makan di luar. Tantangan lain datang saat ia tiba di tengah musim dingin, cukup berbeda dengan iklim di Indonesia.
“Aku sempat sakit satu-dua hari karena cuaca,” ungkapnya.
Dari sisi akademik, Steven mengakui bahwa beban tugas cukup berat, bobotnya bisa mencapai 40–60 persen dari nilai akhir. Namun, ia merasa terbantu karena para dosen sangat terbuka dan suportif.
Steven mengungkapkan perjalanannya lolos menjadi awardee IISMA. Proses seleksi IISMA dimulai dari seleksi administratif yang mencakup pengumpulan dokumen seperti CV, transkrip nilai, sertifikat kemampuan bahasa Inggris (Duolingo/IELTS/TOEFL), essay, dan surat rekomendasi. Steven menekankan pentingnya memilih universitas tujuan yang fit dengan minat dan memperhatikan persyaratan EPT, karena tidak semua universitas menerima Duolingo.
Setelah lolos tahap administrasi, peserta akan mengikuti wawancara sekitar 30 menit. Steven menyarankan agar sebelum lanjut ke tahap wawancara agar kita terlebih dahulu bersiap mempelajari negara tujuan juga, tak hanya kampusnya saja. Adapun timeline IISMA sejak awal pendaftaran, seleksi, hingga pembekalan, dilaksanakan total selama sebelas bulan.
Bagi mahasiswa yang ingin mengikuti program IISMA atau pertukaran pelajar lainnya, Steven memberi tiga tips penting. Pertama, mempersiapkan mental untuk hidup mandiri di negeri orang. Kedua, menentukan pilihan universitas tidak hanya berdasarkan ranking, tetapi juga kesesuaian mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, mempersiapkan proses seleksi sebaik mungkin karena persaingan sangat ketat.
“Terakhir, santai saja, jangan terlalu tertekan, ikuti tujuanmu dan take it slow. Di awal pasti sulit, tetapi selanjutnya akan terbiasa juga. Yang terpenting adalah perkuliahan lancar dan kita bahagia,” pungkasnya.
Reportase: Najwah Ariella Puteri
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals