
Sektor jasa keuangan telah membuktikan dirinya sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor ini terbukti mampu berperan sebagai penggerak stabilitas makroekonomi, menyalurkan modal produktif, memperluas inklusi keuangan, dan mendukung agenda keberlanjutan.
“Dalam konteks dinamika global yang penuh tantangan, seperti tensi geopolitik, fragmentasi perdagangan, dan divergensi pemulihan ekonomi, sektor ini telah menunjukkan ketahanan dan kemampuan adaptasi yang luar biasa,” jelas Anggota Badan Supervisi OJK, Muhammad Edhie Purnawan, Ph.D., saat menyampaikan keynote speech dalam Partners’ Meeting FEB UGM, Jum’at (25/4/2025) di Kampus MM FEB UGM Jakarta.
Edhie menyampaikan dalam laporan OJK pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2025 disebutkan bahwa sektor jasa keuangan tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Sepanjang 2024, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,03% di tengah tekanan global, dengan sektor jasa keuangan menjadi penopang utama. Tiga indikator utama menunjukkan ketahanan sektor ini uaitu rasio kecukupan modal (CAR) perbankan mencapai 26,69%, loan-to-deposit ratio (LDR) terjaga di kisaran 80–85%, dan rasio kredit bermasalah (NPL) stabil di bawah 3%.
“Keberhasilan sektor ini juga terlihat dari pengalaman selama pandemi COVID-19. Program restrukturisasi kredit senilai Rp830 triliun untuk 6,6 juta debitur, mayoritas UMKM, menjadi contoh nyata respons kebijakan yang efektif dan adaptif,” ungkapnya.
Fungsi intermediasi sektor keuangan, lanjut Edhie, menunjukkan performa solid,dengan total penyaluran kredit perbankan mencapai Rp7.827 triliun atau tumbuh 10,39% (yoy). Kredit kepada sektor produktif, khususnya UMKM, menjadi sorotan, sejalan dengan mandat pemerintah meningkatkan kontribusi UMKM terhadap PDB. Tidak hanya itu, pertumbuhan signifikan juga terjadi pada sektor pembiayaan digital. Fintech peer-to-peer lending mencatat outstanding pembiayaan Rp77,02 triliun (naik 29,14%), sementara layanan Buy Now Pay Later mencapai transaksi Rp28,94 triliun. Di sisi lain, pasar modal berhasil menghimpun dana Rp259,24 triliun dari 199 penawaran umum sepanjang 2024, menjadi alternatif pembiayaan penting di luar perbankan.
Capaian membanggakan lainnya adalah tingkat inklusi keuangan nasional mencapai 85% pada 2024, mendekati target 90% di tahun ini. Akses layanan keuangan diperluas lewat digitalisasi, seperti aplikasi mobile banking dan fintech. Namun, Edhie menggarisbawahi masih adanya ketimpangan regional, terutama antara Jawa dan kawasan timur Indonesia. Misalnya, tingkat inklusi keuangan di Jawa mencapai 90%, tetapi hanya 70% di Papua. Literasi keuangan juga masih rendah, dengan hanya 38% masyarakat yang memahami produk keuangan secara mendalam.
“Untuk mengatasi ini, OJK perlu memperkuat kolaborasi dengan sektor pendidikan dan swasta untuk menyusun kurikulum literasi keuangan yang terjangkau dan relevan,” ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut Edhie turut menyoroti tentang peran sektor jasa dalam mendukung transisi menuju ekonomi hijau. OJK mendorong penyaluran kredit untuk proyek ramah lingkungan, seperti energi terbarukan dan transportasi rendah karbon. Pada 2024, pembiayaan hijau mencapai Rp150 triliun, didominasi sektor energi surya dan hidro. Selain itu, emisi obligasi hijau (green bonds) dan obligasi berkelanjutan (sustainability bonds) meningkat signifikan, mencapai Rp50 triliun pada 2024 mengindikasikan meningkatnya kesadaran terhadap investasi berwawasan lingkungan. Peluncuran Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) dan Bursa Karbon juga memperkuat ekosistem keuangan hijau, menempatkan Indonesia di posisi strategis dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Meski mencatat berbagai capaian, Edhie menyebutkan sektor jasa keuangan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain risiko keamanan siber yang meningkat, kompleksitas geopolitik global, ketimpangan tegional. serta rendahnya literasi keuangan. Oleh sebab itu ia menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor sebagai solusi berkelanjutan.
“Kolaborasi antara industri, akademisi, dan pemerintah menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini,” terangnya.
Ia mencontohkan, universitas dapat mengembangkan kurikulum berbasis fintech dan keuangan berkelanjutan. Sementara industri dapat berinvestasi dalam riset dan pengembangan produk keuangan inovatif. Selain itu, OJK perlu terus memperkuat regulasi berbasis data (data-driven regulation) untuk memastikan sektor ini tetap adaptif dan inklusif.
Edhi menambahkan, sektor jasa keuangan kedepannya diharapkan dapat terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, memperkuat tata kelola berbasis ESG, dan menjangkau segmen masyarakat yang masih terpinggirkan. Dengan fondasi yang solid dan visi yang jelas, sektor ini tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga membawa Indonesia menuju posisi yang lebih kuat di panggung global sebagai ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals