Meningkatnya kerentanan di kelompok non miskin menjadi tantangan baru yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini. Di saat yang sama kelas menengah kian menyusut dan tekanan tekanan demografis akibat populasi menua semakin menguat. Kondisi tersebut menegaskan pentingnya transformasi sistem perlindungan sosial Indonesia dari sekadar jaring pengaman menjadi pendorong pertumbuhan jangka panjang.
Hal tersebut mengemuka dalam Mubyarto Public Policy Forum 2025 yang diselenggarakan oleh FEB UGM dan Australian National University (ANU) dengan topik “Poverty and Welfare Reform in Indonesia” pada 24 Oktober 2025 di FEB UGM. Dalam forum ini menghadirkan Dr. Sudarno Sumarto (The SMERU Research Institute), Dr. Elan Satriawan (FEB UGM), dan Dr. Putu Geniki Lavinia Natih (FEB UI) sebagai narasumber.
Sudarno Sumarto saat menyampaikan paparan berjuddul “From Safety Net to Springboard for Growth: Transforming Social Protection for Indonesia’s Future”, menyampaikan bahwa pembangunan sejati tidak hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada kemampuan negara mengangkat masyarakat dari kemiskinan dan berinvestasi pada potensi manusia. Ia pun mengingat kembali filosofi Prof. Mubyarto dalam merancang Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang menyasar langsung rumah tangga miskin serta mendorong aktivitas ekonomi lokal.
Sudarno juga menyoroti berbagai tantangan yang kini dihadapi, mulai dari menurunnya angka kemiskinan namun dengan kerentanan yang tetap tinggi, risiko ketidakberlanjutan asuransi sosial, koordinasi lintas instansi yang kompleks, hingga tekanan demografis dan struktural. Menurutnya, sistem perlindungan sosial Indonesia harus berevolusi menjadi instrumen yang mendorong produktivitas tenaga kerja, ketahanan ekonomi, serta kohesi sosial, bukan lag ihanya sebagai alat pengetasan kemiskinan.
“Sudah saatnya perlindungan sosial tidak hanya berfungsi sebagai safety net, tetapi juga sebagai springboard untuk pertumbuhan. Untuk mencapai Visi 2045, Indonesia harus mengembangkan sistem perlindungan sosialnya menjadi platform yang universal, berkelanjutan, dan adaptif yang mendukung warga di setiap tahap kehidupan sekaligus memastikan keberlanjutan finansial dan cakupan yang lebih luas,” paparnya.
Pendapat senada disampaikan oleh Elan Satriawan. Menurutnya, persoalan utama Indonesia tidak lagi sekadar kemiskinan, melainkan kerentanan kelompok non-miskin, termasuk kelas menengah. Oleh karena itu, perlindungan sosial harus menjadi alat strategis menjawab tantangan tersebut.
Ia menyebutkan Indonesia perlu menetapkan misi sistem perlindungan sosial sepanjang siklus hidup dalam empat pilar, yakni bantuan sosial non-kontributif, jaminan sosial kontributif, akses pada penghidupan dan pekerjaan layak, serta perlindungan sosial adaptif untuk menghadapi bencana.
“Keempat pilar ini menjadikan perlindungan sosial sebagai instrumen perlindungan sekaligus promosi,” jelasnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Elan menekankan pentingnya untuk melakukan penyelesaian berbagai persoalan mendasar di tanah air. Beberapa diantaranya seperti kesalahan penargetan, minimnya cakupan kelompok rentan, pembiayaan yang belum berkelanjutan, stunting, rendahnya pendidikan, serta lemahnya keterhubungan antara program penghidupan dan pekerjaan.
Putu Geniki Lavinia Natih menekankan pentingnya perekonomian Indonesia yang berorientasi pada rakyat dengan peka terhadap kebutuhan nyata masyarakat.
“Kita perlu menyadari ekonomi kehidupan nyata. Ilmu ekonomi dapat membantu kita memahami kehidupan nyata dan perjuangan masyarakat dan kebutuhan mendesak akan kebijakan berbasis bukti,” ungkapnya.
Putu juga mengungkapkan temuan penting bahwa Indonesia menjadi negara kedua paling rentan di dunia menurut World Risk Index 2023 setelah Filipina. Temuan ini semakin menegaskan urgensi perlindungan sosial yang adaptif, inklusif, dan didukung oleh basis bukti yang kuat.
“Perlindungan sosial adaptif membantu membangun ketahanan keluarga miskin dan rentan melalui peningkatan kapasitas untuk bersiap, menghadapi, dan beradaptasi terhadap guncangan,” jelasnya.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals
