Indonesia Miliki Peluang Besar Dalam Fintech
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 9110
Perkembangan dunia teknologi telah merambah ke berbagai bidang, salah satunya adalah keuangan. Financial technology (fintech) sebagai bentuk baru dalam kegiatan keuangan mulai dekat dengan masyarakat. Namun sayangnya, pengetahuan pengguna akan teknologi tersebut masih terbatas sehingga penggunaannya belum maksimal.
Untuk mengedukasi masyarakat mengenai fintech, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) menyelenggarakan kuliah umum dengan tema "Sosialiasi Pengenalan Perusahaan Financial Technology." Acara yang diadakan pada Selasa (6/3) ini menghadirkan Dr. Hendrikus Passagi (Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK), Kusdhianto Setiawan, Ph.D. (Wakil Dekan bidang Keuangan, Aset, dan SDM FEB UGM), Samuel Henry M.S., S.E. (General Manager Jogja Digital Valley), dan Dali Sadli Mulia (CFO PT Angon Indonesia), dengan moderator Drs. Octo Lampito, M.Pd. (Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat).
Dalam pemaparannya, Hendrikus mengatakan bahwa fintech merupakan bagian dari digital economy. Saat ini, seluruh dunia berada pada titik awal yang sama-termasuk Indonesia. Di sisi lain, industri jasa keuangan konvensional Indonesia sudah tidak dapat bersaing dengan dunia global. "Dalam industri jasa keuangan konvensional, Indonesia sudah pasti kalah. Ketika digital economy di seluruh dunia sedang dalam kondisi start yang sama-mencari model, mengapa Indonesia tidak mengambil bagian di titik itu, barangkali Indonesia masih punya kesempatan untuk menjadi pemenang," terangnya. Dalam kaitannya dengan fintech lending, Hendrikus menegaskan bahwa fintech startup di Indonesia berkolaborasi dengan industri perbankan, bukan berkompetisi. Selain itu, ia juga menjelaskan adanya perbedaan antara perbankan dan penyelenggara peer-to-peer (P2P) lending, "Penyelenggara P2P lending tidak menghimpun dana publik, melainkan hanya mempertemukan peminjam dana dan pemilik dana, tidak seperti bank yang mengelola dan menyalurkannya dalam bentuk kredit."
Pada sesi berikutnya, Kusdhianto menjelaskan tentang kejatuhan 'dotcom' pada awal 2000-an. Menurutnya, startup ini jatuh karena bisnis modelnya yang buruk, hanya sekadar meng-online-kan bisnis yang sudah ada. Ia melanjutkan pemaparan mengenai pengaruh fintech pada financial services. "Anda bisa meminjamkan uang pada UKM yang anda mau (P2P lending), misalnya seperti Modalku yang memberikan fasilitas tersebut," ujarnya.
Senada dengan Kusdhianto, Samuel menegaskan bahwa industri fintech harus memiliki inovasi untuk membuat bisnis model baru. Dengan beragam infrastruktur pada fintech, inovasi tersebut memungkinkan. Misalnya, dengan API movement, dimana data-data dari beragam rumah sakit dapat diintegrasikan, atau dengan internet of things, aplikasi smart city dapat dibuat.
Terakhir, Dali menjelaskan tentang cara kerja aplikasi Angon yang baru berdiri sejak akhir 2016. Melalui aplikasi tersebut, pengguna yang disebut dengan investor dapat memiliki hewan ternak yang diurus oleh peternak-peternak di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dalam proses tersebut, Angon tidak mengelola langsung uang investor, tetapi uang tersebut dikelola dalam virtual account Telkom yang bekerja sama dengan Angon.
Sumber: Adrian/FEB