Nomor Identitas Tunggal Masih Jadi Persoalan Integrasi Ekonomi Asean
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1971
Kesepakatan antar negara di kawasan Asean untuk mewujudkan integrasi ekonomi melalui Masyarakat Ekonomi Asean dalam waktu dekat belum bisa terwujud karena masih belum selesainya persoalan nomor identitas tunggal atau Single Identity Number (SIN). Belum lagi masih terdapat konflik dan tarik menarik kepentingan politik di masing-masing negara, tingginya kejahatan korupsi dan pencucian uang yang belum tertangani dengan baik. Hal itu dikemukakan oleh Kepala Laboratorium Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Dr. Rimawan Pradiptyo, saat menyampaikan kuliah umum kepada peserta yang mengikuti program International Week dan International Summer University di Auditorium Djarum Foundation FEB UGM, Senin (23/7).
Penerapan nomor identitas tunggal, menurut Rimawan, hanya Singapura yang sudah menjalankannya dengan baik. Sementara di luar Singapura belum menjalankan program ini, bahkan Indonesia masih mengalami persoalan pengadaan KTP elektronik yang penggunaannya tidak seperti yang diharapkan. “Indonesia dengan penduduk hampir 164 juta jiwa, tidak semua penduduk sudah mendapat KTP elektronik. Bahkan, masih ada orang yang bisa memiliki lima ktp sekaligus,” paparnya.
Dalam hal penggunaan KTP elektronik di Indonesia sementara ini hanya untuk jaminan identitas saat menginap di hotel, membeli tiket tranportasi atau keperluan administrasi lainnya. “Belum bisa digunakan dalam informasi melakukan transaksi untuk membayar pajak dan transaksi pembayaran lainnya,” katanya.
Selain soal identitas tunggal, kejahatan korupsi, perdagangan obat terlarang, perdagangan manusia, pelanggaran HAM dan penggelapan pajak masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Meski beberapa negara memiliki komitmen sama dalam memberantas masalah di atas, namun tidak semua antar negara Asean memiliki kerja sama satu sama lain dalam mengatasinya. Ia mencontohkan, untuk urusan korupsi saja setiap negara memiliki pemahaman dan perlakukan berbeda soal korupsi. “Ada negara yang tidak mau menandatangani kesepakatan untuk memulangkan atau mengekstradisi para koruptor,” imbuhnya.
Soal peringkat indeks persepsi korupsi di kawasan Asean dalam sepuluh tahun terakhir, katanya, Singapura masih menempati posisi pertama sebagai negara yang tingkat kasus korupsinya paling rendah. Sementara antara Indonesia, Thailand dan Filipina masih tetap di angka yang tidak jauh berbeda,
Menurutnya, tingkat perilaku korupsi yang rendah setiap negara akan menciptakan iklim dunia investasi yang baik, sebaliknya tingkat korupsi yang tinggi justru akan menciptakan iklim investasi yang buruk. Oleh karena itu, kerja sama untuk tukar menukar informasi dan komitmen bersama antara negara dibutuhkan dalam memberantas korupsi dan kejahatan lainnya di kawasan Asean.
Sumber: Gusti/UGM