Bonus Demografi: Kesempatan atau Ancaman?
- Detail
- Ditulis oleh Febyolla
- Kategori: Berita
- Dilihat: 9152
Data Sensus Penduduk tahun 2018 menunjukkan bahwa populasi penduduk berusia produktif (15-64 tahun) yaitu mencapai angka 179,13 juta jiwa atau sekitar 67,6% dari total seluruh penduduk Indonesia. Besarnya angka tersebut menyebabkan Indonesia digadang-gadang akan segera memasuki fase baru yang dikenal dengan bonus demografi. Bonus demografi ialah keadaan dimana penduduk berusia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk yang berusia non-produktif. Di Indonesia sendiri, puncak bonus demografi diprediksi akan terjadi pada 2030 mendatang. Bonus demografi dikatakan sebagai sebuah bonus manakala generasi muda mampu mendapatkan pendidikan dan fasilitas yang layak guna meningkatkan kualitas dirinya. Maka dari itu, saat ini Indonesia berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dengan harapan akan dapat mencetak calon-calon pemimpin di masa depan supaya nantinya bonus demografi tersebut betul-betul akan menjadi sebuah bonus alih-alih sebuah kutukan. Fenomena ini yang kemudian diangkat dan didiskusikan dalam Forum Diskusi yang mengusung tema "Work in Progress: Improving Youth Labor Market Outcomes in Emerging Market and Developing Economies" pada Jumat (1/3).
Acara yang digelar di Auditorium Gedung Pembelajaran Lantai 8 ini merupakan sebuah Forum Diskusi yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) ini turut menggandeng lembaga-lembaga kenamaan, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Forum Diskusi tersebut diisi oleh para ekonom ternama, yakni John C. Bluedorn, Ph. D. selaku perwakilan dari IMF, Gumilang Aryo Sahadewo, S.E., M.A., Ph.D. selaku dosen FEB UGM, serta Dr. Ninasapti Triaswati, S.E., M.Sc. selaku perwakilan dari ISEI. Acara yang berlangsung sejak pagi hari itu dipandu oleh moderator Jesita Wida Ajani sebagai Mahasiswa Berprestasi FEB UGM 2018.
Acara dibuka dengan pemaparan yang disampaikan oleh John C. Bluedorn. Menurutnya, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan peran generasi muda. Sepertiga dari total pekerja usia produktif diisi oleh anak muda usia 15-24 tahun, bahkan diprediksi bahwa generasi muda di negara berkembang mampu menaikkan output riil hingga 5%. Akan tetapi, saat ini generasi muda tengah dihadapkan pada persoalan mengenai tingkat ketidakaktifan kaum muda yang cukup tinggi. Pasalnya, 20% generasi muda saat ini sedang tidak bekerja, tidak sekolah, serta tidak mengambil pelatihan khusus.
Pembahasan mengenai tenaga kerja muda tersebut kemudian diulas lebih lanjut oleh Gumilang. Menurutnya, pengangguran dari kalangan generasi muda disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketidakcocokan keterampilan, lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, serta rendahnya permintaan akan pelatihan keterampilan. Data dari International Labor Organization (ILO) menyebutkan bahwa setidaknya 60% pekerja di Indonesia bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan pendidikannya. Bahkan belum semua masyarakat Indonesia mendapatkan akses pendidikan, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah. Hal tersebut yang menyebabkan pasar tenaga kerja di Indonesia menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lainnya.
Permasalahan di sektor tenaga kerja tak cukup sampai di situ. Nina memaparkan bahwa kemunculan berbagai start up digital sebagai buah karya Revolusi Industri 4.0 turut menjadi ancaman bagi pasar tenaga kerja. Di satu sisi, start up digital ini mempermudah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari kemudahan memperoleh informasi secara lengkap dan cepat hingga membeli barang secara daring. Di sisi lain, kemajuan teknologi tersebut menyebabkan terjadinya gap pada pasar tenaga kerja, terutama apabila suatu negara kurang didukung dengan infrastruktur yang baik. Oleh sebab itu, diperlukan intervensi dari pemerintah agar perubahan paradigma dari labor intensive menjadi capital intensive ini tak lantas menyebabkan peningkatan angka pengangguran di Indonesia.
Sumber: Febyolla Putri Aninditya