Stabilitas ekonomi dan politik sangat penting agar kebijakan industrialisasi di Indonesia dapat berhasil
- Detail
- Ditulis oleh Sony
- Kategori: Berita
- Dilihat: 40427
Indonesia adalah salah satu negara yang terjebak dalam status berpenghasilan menengah, bahkan sejak tahun 1960-an. Hal itu disebabkan oleh kegagalan negara berpenghasilan menengah untuk memiliki pertumbuhan produktivitas tenaga kerja yang lebih cepat melalui inovasi teknologi dan peningkatan industri dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi. Hal-hal seperti memprioritaskan penggunaan sumber daya yang terbatas, memfasilitasi inovasi teknologi, dan mendukung peningkatan industri dalam bentuk suatu kebijakan menjadi faktor yang sangat krusial bagi pemerintah negara berpenghasilan menengah untuk mengatasi masalah ini.
Oleh karena itu, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) bekerja sama dengan Australian National University (ANU) Indonesia Project dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia pada hari Jumat (13/11) menyelenggarakan Kuliah Umum Bersama dengan tajuk "Kebijakan Industri untuk Keluar dari Perangkap Pendapatan Menengah: Pendekatan ekonomi struktural baru untuk Indonesia". Kuliah umum ini merupakan gabungan seri tahunan Mubyarto Public Policy Forum yang telah diselenggarakan sejak tahun 2017 untuk menghormati Almarhum Profesor Mubyarto, Pakar Ekonomi Kerakyatan Indonesia dari Universitas Gadjah Mada dan Sadli Lecture yang sudah diselenggarakan sejak tahun 2007 untuk menghormati Almarhum Profesor Mohammad Sadli, salah satu arsitek ekonomi Orde Baru dari Universitas Indonesia. Keduanya, Profesor Sadli maupun Profesor Mubyarto adalah ekonom yang telah berkontribusi besar bagi Indonesia, khususnya pada debat intelektual tentang kebijakan pembangunan Indonesia. Narasumber pada kuliah umum ini adalah Prof. Justin Yifu Lin dari Peking University, dan dua orang pembahas yaitu Dr. Muhammad Edhie Purnawan selaku Dosen dari FEB UGM dan Dr. Kiki Verico selaku Dosen FEB UI.
Dr. Kiki Verico menyampaikan masalah penting dalam program industrialisasi Indonesia, yaitu tentang keunggulan komparatif di berbagai sektor, rendahnya investasi dan sumber daya manusia, dan bagaimana peran pasar dan pemerintah dalam beradaptasi dengan ekonomi digital.
“Pemerintah sedang menghadapi dilema antara manakah yang perlu didahulukan, perbaikan sumber daya manusia atau pengembangan industri dan investasi?”, papar Dr. Verico.
Sementara Dr. M. Edhie Purnawan fokus tentang upaya penanganan Middle Income Trap di Indonesia. Ia mengatakan bahwa Middle Income Trap terjadi karena negara menjual lebih banyak dan menjadi semakin kaya, kemudian terjadi peningkatan pembayaran upah sehingga berimbas pada peningkatan biaya penjualan barang.
“Oleh karena itu, mereka kehilangan keunggulan kompetitif dan terjebak sehingga tidak mampu menjual lebih banyak dan menjadi lebih kaya”, kata Dr. Edhie.
Dr. Edhie menyampaikan bahwa menguji Indonesia merupakan suatu hal yang konstruktif. Sebab, Indonesia adalah bagian dari negara ekonomi berkembang yang paling menonjol dalam menentang kecenderungan Middle Income Trap. Ia menawarkan solusi agar lebih banyak industri yang bertransformasi digital, tidak online di kota, tetapi menuju desa yang menciptakan lebih banyak nilai pasar. Kemudian perlu juga untuk membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai Koridor Ekonomi Baru untuk memperkenalkan kota-kota baru.
Dr. Edhie mengatakan bahwa masalah stabilitas ekonomi dan stabilitas politik merupakan faktor yang perlu diperhatikan agar kebijakan industrialisasi di Indonesia dapat berhasil.
“Meskipun Middle Income Trap sulit untuk dilawan, bukan berarti tidak mungkin, dengan kita fokus pada human capital industri, dan peningkatan frontier technology, Middle Income Trap akan dapat diatasi lebih cepat”, papar Dr. Edhie.
Prof. Justin Yifu Lin menyampaikan bahwa kondisi Indonesia telah terperangkap dalam tingkat pendapatan menengah (middle income) sejak tahun 1960-an. Ia menampilkan data Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada awal 1960 yang hampir mirip dengan kelompok menengah bawah. Berdasarkan data tersebut, secara perlahan PDB per kapita Indonesia terbukti berhasil meningkat hingga pada tahun 1990-an mencapai 80% sampai 100% dari PDB per kapita rata-rata negara-negara berpendapatan menengah. Pada tahun 1997-1998, sesaat sebelum Krisis Keuangan melanda negara-negara di Asia, PDB per kapita Indonesia sedikit meningkat kembali (di atas 100%) dari rata-rata negara kelas menengah. Namun, sejak saat itu pula Indonesia seperti terperangkap di tingkat menengah bawah. Prof. Lin menyampaikan bahwa terdapat negara lain yang pada awal 1960-an memiliki situasi mirip dengan Indonesia, di antaranya seperti China, Korea, Malaysia, dan Singapura, dan saat ini mereka telah berhasil keluar dari kelompok menengah.
Ia menyampaikan solusi untuk menangani hal ini, yaitu dengan membuat perspektif pendekatan ekonomi struktural baru tentang alasan jebakan ekonomi dan cara menghindarinya dengan beberapa implikasinya bagi Indonesia. Pemberian predikat 'baru' adalah untuk membedakannya dengan pendekatan struktural 'lama' yang diterapkan setelah Perang Dunia II, yaitu pengembangan modal dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pekerja.
Ia mengatakan bahwa ada enam langkah praktis yang dapat diterapkan, salah satunya adalah penguatan zona industri atau industrial parks. Langkah lainnya, yaitu memberikan insentif berupa subsidi, fasilitas pajak dan kredit, serta fasilitas untuk memperoleh mata uang asing bagi perusahaan pionir. Pendekatan baru ini menurutnya lebih realistis, sebab tidak ada negara yang berhasil keluar dari status pendapatan menengah tanpa diimbangi dengan kebijakan industri yang kuat. Salah satu kuncinya adalah menargetkan kebijakan industri pada sektor di mana negara memiliki sumber daya yang melimpah. Indonesia sendiri memiliki dua sumber daya melimpah, yaitu sumber daya alam dan sumber daya manusia.
“Implikasinya, pemerintah Indonesia perlu berperan sebagai fasilitator dalam pasar yang efektif untuk memungkinkan inovasi teknologi dan peningkatan industri”, kata Lin.
“Indonesia juga harus mampu mempertahankan 7% atau lebih tingkat pertumbuhan setiap tahun selama 20 tahun dan menjadi negara berpenghasilan tinggi dengan dukungan kebijakan industri untuk meningkatkan diversifikasi industri negara”, tutupnya.
Sumber: Sony Budiarso/Leila Chanifah Zuhri