Apa Kontribusi dari Islamic Finance terhadap SDGs?
- Detail
- Ditulis oleh Rizal
- Kategori: Berita
- Dilihat: 1797
Jumat (29/09), telah terlaksana plenary session dari 8th Gadjah Mada International Conference (GAMAICI) yang diselenggarakan di Auditorium Lantai 8 Gedung Pusat Pembelajaran Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). GAMAICI merupakan konferensi terkait topik ekonomika dan bisnis Islami yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Ekonomika dan Bisnis Syariah (PKEBS) FEB UGM. Bertajuk “Sustainable Development through Islamic Finance: Opportunities and Challenges in Accounting, Business, and Economics”, plenary session kali ini diisi oleh dua narasumber, yakni Prof. Habib Ahmed (Profesor dan Sharjah Chair Bidang Islamic Law and Finance di Durham University) dan Dr. Imam Teguh Saptono (Wakil Ketua I Badan Wakaf Indonesia), serta dimoderatori oleh M. Akbar F. A., S.E., M.Sc. yang merupakan Dosen Departemen Akuntansi FEB UGM.
Islamic Finance and Sustainability: Synergies and Innovation
Urgensi implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) makin meningkat beberapa tahun terakhir. Tujuan-tujuan tersebut turut diejawantahkan dalam Visi Indonesia 2045 serta Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia tahun 2019–2024. Namun, realitas mengatakan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dalam mengejar target-target SDGs. Dari tujuh belas poin SDGs yang ada, Indonesia belum mencapai satu pun di antaranya, menempatkannya di peringkat ke-75 dari 166 negara lainnya untuk konteks capaian SDGs.
Lebih lanjutnya, untuk mencapai target dari SDGs, negara-negara berkembang memerlukan tambalan dana sebesar 4 triliun dolar. Sementara itu, terkhusus Indonesia, negara ini membutuhkan dana sebesar 4,7 triliun dolar agar mampu meraih SDGs. Berbagai sektor pembangunan memerlukan aspek pembiayaan agar mampu mencapai target yang dikehendaki, seperti kestabilan finansial, pengembangan infrastruktur, inklusi finansial dan dampak sosial, serta pembiayaan berkelanjutan.
Kemudian, muncullah pertanyaan, apa kontribusi dari Islamic finance terhadap SDGs? Nilai dan prinsip yang terkandung dalam Islam sejalan dengan pembangunan berkelanjutan. Namun, praktik Islamic finance masih belum mendukung keberlanjutan. Oleh karena itu, inovasi diperlukan untuk menjembatani gap yang ada. Inovasi tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui pengembangan produk yang berbasis syariah, yakni memenuhi ketentuan hukum, etika, dan maqasid al shariah–atau produk yang bersifat halal dan tayib.
Maqasid al-shariah juga mencerminkan nilai-nilai etika yang harus diimplementasikan ke pengembangan produk. Nilai-nilai tersebut, di antaranya, meliputi keadilan dan transparansi. Selain itu, etika juga diwujudkan dengan menciptakan proses produksi yang berkelanjutan secara lingkungan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islamic finance mempunyai peluang untuk menciptakan inovasi bisnis yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan, atau merupakan perwujudan dari SDGs.
Enhancing Waqf Sustainability: Innovative Approaches, Strategies, Future Trends, and Prospects
Keberadaan konflik geopolitik, pandemi, serta perubahan iklim telah menciptakan krisis ekonomi dalam skala global. Namun, perekonomian Islam telah menawarkan suatu sistem yang mampu menjadi solusi dari krisis tersebut, yakni konsep ZISWAF. ZISWAF merupakan akronim dari zakat, infaq, sedekah, dan wakaf. Secara spesifik, instrumen yang dibahas dalam sesi kali ini adalah wakaf. Wakaf memiliki potensi yang besar dalam perekonomian Indonesia. Dengan rerata pertumbuhan sebesar enam persen per tahun, saat ini terdapat 440.512 lokasi wakaf tanah di Indonesia. Wakaf tanah meliputi berbagai wujud, seperti masjid atau musala, institusi pendidikan, pemakaman, serta kebutuhan sosial lainnya. Sementara itu, nilai wakaf tunai mencapai 1,7 triliun dolar Amerika Serikat.
Dahulu, wakaf masih menghadapi beberapa permasalahan di Indonesia. Permasalahan tersebut meliputi segi paradigma di kalangan masyarakat, infrastruktur, organisasi, regulasi, serta produk dari wakaf itu sendiri. Namun, dalam beberapa periode terakhir, perkembangan wakaf telah menunjukkan progres yang positif. Sebagai contoh, telah diluncurkan prinsip inti dari wakaf serta instrumen cash waqf linked sukuk pada pertemuan antara International Monetary Fund dan World Bank pada 2018.
Selain itu, kemajuan wakaf juga dapat ditinjau dari berbagai aspek. Wakif, orang yang menyumbangkan wakaf, telah meluas ke berbagai kalangan masyarakat, dari generasi muda hingga generasi tua. Selain itu, wujud dari aset wakaf, yang dulu didominasi oleh wakaf tanah, saat ini telah mengalami diversifikasi dalam bentuk wakaf tunai, wakaf saham, asuransi, serta hak cipta yang bentuknya lebih fleksibel. Kemudian, dari segi kontrak, ekosistem digital telah membuat transaksi menjadi lebih mudah, transparan, serta mengindahkan aspek akuntabilitas.
Di sisi lain, wakaf juga mampu menjadi jalur untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi. Wakaf dapat menjadi sumber penerimaan dari pemerintah sehingga mampu mencegah terjadinya defisit budget oleh pemerintah. Dari aspek pembangunan, wakaf akan mengurangi angka kemiskinan serta meningkatkan keluaran dari redistribusi pendapatan. Tak hanya itu, wakaf juga menjadi komponen esensial untuk memacu pertumbuhan ekonomi di negeri ini. Dengan mempertimbangkan tren serta potensi dari wakaf, instrumen tersebut perlu dikembangkan agar potensinya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kedepannya.
Reportase: Rizal Farizi