Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan Layak Untuk Segera Diterapkan
- Detail
- Ditulis oleh Kurnia
- Kategori: Berita
- Dilihat: 5285
Ekonom FEB UGM, Artidiatun Adji, M.Ec., Ph.D., menyebutkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) layak untuk segera diterapkan di Indonesia.
"Selama ini penerimaan cukai pemerintah rata-rata 95 persennya berasal dari penerimaan hasil tembakau (rokok). Oleh karena itu, perlu ekstensifikasi cukai dan MBDK ini adalah salah satu komoditas yang tepat untuk dikenakan cukai," jelasnya, Senin (24/3) di Kampus FEB UGM.
Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini mengatakan dengan penerapan cukai MBDK diharapkan pemerintah tidak lagi bergantung pada penerimaan cukai hasil tembakau. Selain itu, rancangan kebijakan tersebut juga sesuai dengan tujuan penerapan cukai khususnya untuk mendapatkan penerimaan negara dan menurunkan konsumsi yang berpotensi berdampak pada kesehatan (cukai sebagai sin tax).
Menurutnya, penerapan cukai untuk MBDK juga tepat untuk mengurangi konsumsi gula atau minuman manis secara berlebihan. Dengan begitu penerapan cukai ini dapat menekan prevalensi diabetes di tanah air. Laman Kemenkes mengutip data International Diabetes Federation (IDF) melaporkan bahwa per 2021 terdapat sekitar 10,6 persen dari 179,72 juta jiwa lebih populasi dewasa usia 20-79 tahun di Indonesia yang mengidap diabetes MBDK guna mengurangi prevalensi diabetes di Indonesia.
Lebih lanjut ia menjelaskan menurut Asia-Pacific Tax Forum terdapat sejumlah kriteria barang yang dikenakan cukai. Pada umumnya merupakan barang yang memiliki karakteristik sebagai barang mewah (luxurious goods) yaitu barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status atau kelas ekonomi seseorang, bukan untuk konsumsi dasar (necessity). Itulah sebabnya, barang ini diciptakan dan diproduksi untuk memperoleh perhatian.
Karakteristik berikutnya adalah barang yang akan menimbulkan dampak negatif jika dikonsumsi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat. Contoh barang tersebut adalah rokok dan minuman beralkohol. Cukai atas produk ini disebut sin tax.
Karakteristik selanjutnya adalah produk yang membuat kecanduan yakni produk yang dikonsumsi akan menimbulkan keinginan untuk mengkonsumsi berulang secara intens dan menciptakan ketergantungan. Contoh produk ini adalah rokok dan minuman beralkohol.
Terakhir, produk yang umumnya tidak ditujukan ke setiap orang (mass consumption), tetapi konsumsinya terbatas. Produk-produk ini biasanya memiliki elastisitas yang rendah.
"Berdasarkan klasifikasi Asia Pacific Tax Forum dan OECD ini, MBDK juga dapat dikategorikan sebagai komoditas yang perlu dikurangi konsumsinya," terangnya.
Lebih lanjut Artidiatun mengatakan cukai seharusnya tidak lagi hanya dilihat sebagai suatu sin tax, instrumen fiskal untuk mengendalikan dampak eksternalitas konsumsi terhadap kesehatan. Namun, cukai juga harus dilihat sebagai instrumen fiskal yang komprehensif. Salah satu contohnya untuk mengurangi dampak konsumsi berlebihan terhadap kerusakan lingkungan seperti konsumsi plastik maupun bahan bakar minyak. Contoh lainnya untuk menerapkan user charges atas konsumsi masyarakat akan barang-barang dan jasa-jasa yang disediakan pemerintah seperti penggunaan jalan raya dengan menerapkan cukai BBM atau cukai kendaraan bermotor. Lalu untuk memperbaiki distribusi pendapatan, pengalokasian dana cukai rokok untuk pembiayaan asuransi kesehatan pemerintah (BPJS).
"Yang lebih penting lagi, sebagai instrumen fiskal, cukai dapat menjadi sumber penerimaan negara yang esensial," ucapnya.
Dampak terhadap Perekonomian
Artidiatun mengatakan penerimaan cukai MBDK akan meningkatkan penerimaan cukai pemerintah. Dengan demikian ketergantungan pemerintah dari penerimaan cukai hasil tembakau akan berkurang.
"Merupakan hal yang penting untuk mengetahui elastisitas permintaan MBDK. Penerapan cukai akan mengurangi permintaan MBDK, namun magnitude maupun signifikansinya perlu diteliti," paparnya.
Ia menjelaskan apabila permintaan MBDK ini elastis, maka persentase peningkatan harga akibat penerapan cukai akan lebih kecil daripada persentase penurunan permintaan MBDK. Sementara itu, apabila permintaan MBDK inelastis, maka persentase peningkatan harga akibat penerapan cukai akan lebih besar daripada persentase penurunan permintaan MBDK. Besarnya kesejahteraan yang hilang akan lebih besar apabila permintaan MBDK adalah elastis.
Lalu bagaimana untuk besaran penerapan cukai? Artidiatun menyampaikan penerapan cukai atas komoditas yang memiliki permintaan inelastis berbasis argumen ekonomi yang rasional yaitu menghasilkan deadweight loss (DWL) atau welfare loss (biaya kesejahteraan) yang rendah. Menyitir Ramsey (1927) bahwa tarif pajak atau cukai seharusnya diterapkan lebih tinggi atas komoditas yang memiliki permintaan inelastis dibandingkan dengan komoditas yang memiliki permintaan elastis. Hal ini dengan asumsi elastisitas penawarannya konstan atau sama untuk kedua komoditas. Tingkat tarif pajak atau cukai seharusnya berbanding terbalik dengan besarnya elastisitas. Kondisi ini diakibatkan karena biaya kesejahteraan yang ditimbulkan akibat penerapan cukai dengan tarif yang sama adalah lebih besar bagi komoditas yang memiliki permintaan elastis daripada komoditas yang memiliki permintaan inelastis. Oleh karena itu, dari segi efisiensi, disarankan bahwa tarif cukai yang lebih tinggi diterapkan untuk komoditas dengan elastisitas yang rendah.
Artidiatun memaparkan kebijakan cukai di Indonesia berlandaskan pada empat pilar. Pertama, optimalisasi penerimaan negara. Kedua, penurunan konsumsi atas barang yang berbahaya. Ketiga, pemberantasan produk ilegal. Keempat, perlindungan usaha kecil dan kesempatan kerja.
"Oleh karena itu, perlu diperhatikan juga dampak penerapan cukai bagi MBDK yang diproduksi UMKM. Segmentasi MBDK perlu dipetakan untuk penerapan tarif cukai atas MBDK," pungkasnya.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum
Foto: Freepik.com