
Oleh Muhammad Edhie Purnawan, S.E., M.A., Ph.D
Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
Di tengah proteksionisme ekonomi Amerika Serikat yang semakin ketat, Indonesia menghadapi ujian berat. Bertahan sebagai bangsa berdaulat di arena perdagangan global atau terseret dalam kepentingan sepihak yang menggerus kemandirian ekonomi. Dengan kekuatan strategis di sektor mineral kritis seperti nikel dan tantangan struktural di sektor padat karya, diplomasi ekonomi Indonesia dituntut cerdas, tegas, dan berani.
Pertaruhan ini bukan sekadar soal neraca dagang, melainkan masa depan industri nasional, kedaulatan digital, dan ketahanan sosial di tengah ketidakpastian global. Dalam suasana saling intai dalam dinamika global tersebut, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Edhie Purnawan, S.E., M.A., Ph.D., memberikan analisis tajam mengenai posisi tawar Indonesia dalam negosiasi tarif dengan Amerika Serikat (AS).
Dalam wawancaranya dengan Pemimpin Redaksi Majalah Ekonomi Indonesia Bambang Sadono, Edhie memaparkan berbagai dimensi tantangan dan peluang Indonesia dengan lugas dan berbasis data. Menurutnya posisi tawar Indonesia dalam negosiasi tarif dengan AS merupakan kombinasi kekuatan dan kerentanan. Kekuatan utama Indonesia terletak pada cadangan mineral kritis, terutama nikel, yang vital bagi rantai pasok baterai kendaraan listrik dan teknologi canggih Amerika.
Namun skenario proteksionisme AS, yang diperkuat kembali pada masa jabatan kedua Trump, meningkatkan tekanan agar Indonesia memberikan konsesi bilateral. Surplus perdagangan Indonesia, khususnya dari ekspor sel surya dan udang putih, memberikan pengaruh.
“Tetapi ketergantungan kita di sektor tekstil, alas kaki, dan elektronik membuat posisi kita tidak sepenuhnya setara,” tegasnya.
Edhie menilai diplomasi Indonesia harus lebih adaptif. Diversifikasi pasar ekspor ke ASEAN, RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), dan BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) dinilai menjadi kunci untuk mengurangi ketergantungan pada AS.
“Kepemimpinan Indonesia di ASEAN, dengan Malaysia menjadi ketua 2025, bisa dimanfaatkan untuk membentuk respons kolektif terhadap proteksionisme global,” tambahnya.
Strategis Penuh Risiko
Menanggapi peningkatan impor energi dari AS, seperti LPG dan minyak mentah, Edhie menjelaskan bila tujuannya untuk mendiversifikasi sumber energi dan meningkatkan ketahanan pasokan di tengah ketidakpastian geopolitik, AS memang mitra andal berkat teknologi ekstraksi energi mereka. Namun, ia mengingatkan bahwa peningkatan impor bisa memperdalam ketergantungan energi asing.
“Produksi minyak dan gas domestik kita menurun jauh di bawah kebutuhan penyulingan. Ini menambah kerentanan, apalagi dalam situasi defisit APBN 2025 yang mencapai 2,53% dari PDB,” kata Edhie.
Solusi yang ditawarkan adalah percepatan pengembangan energi domestik, transfer teknologi dari perusahaan AS, dan diversifikasi pemasok ke Australia dan Kanada.
Ketika membahas komitmen Indonesia meningkatkan impor kedelai dan gandum dari AS, Edhie mengingatkan, produksi kedelai domestik jauh di bawah permintaan nasional. Impor memang penting, tetapi ini menekan harga lokal dan mengancam petani yang teknologi dan biaya produksinya terbatas.
Strategi ini mengurangi surplus perdagangan, namun tanpa pertumbuhan ekspor yang seimbang, defisit perdagangan berpotensi melebar. Kemandirian pangan kita terancam. Apalagi rantai pasok global saat ini rentan terhadap berbagai gangguan.
“Solusinya mendorong subsidi petani lokal, kuota impor musiman, dan investasi teknologi pertanian,” katanya.
Edhie mengkritisi insentif pembebasan pajak dan relaksasi kandungan lokal memang bertujuan menarik investasi, tetapi bisa berat sebelah. Perusahaan besar AS lebih mampu menavigasi birokrasi kita. UMKM yang menyumbang 60% Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan 97% tenaga kerja nasional sering kalah bersaing.
Mineral Kritis
Edhie Purnawan menilai kerja sama dengan Amerika Serikat di sektor mineral kritis seperti nikel merupakan peluang strategis, tetapi juga mengandung risiko struktural yang tidak boleh diabaikan. Kerja sama ini memosisikan Indonesia sebagai bagian vital dalam rantai pasok energi bersih global. Namun, ketergantungan berlebih pada investasi dan pasar AS berisiko membatasi fleksibilitas kita dalam bernegosiasi, terutama bila perusahaan-perusahaan AS menguasai operasi penambangan. Kepemilikan lokal dan transfer teknologi harus menjadi syarat mutlak dalam kemitraan mineral.
“Indonesia harus menjaga kedaulatan sektor mineralnya. Diversifikasi ekspor ke Eropa, Jepang, dan Korea Selatan juga harus dipercepat agar kita tidak terjebak dalam ketergantungan satu pasar.” paparnya.
Mendukung investasi besar dalam penyulingan domestik untuk mengoptimalkan hilirisasi. Mengenai kebijakan pelonggaran impor hortikultura seperti apel dan anggur dari AS, Edhie mengakui manfaat jangka pendek bagi konsumen, namun mengingatkan risiko jangka panjang.
Menurunkan harga di pasar memang meringankan beban konsumen, apalagi menjelang Ramadan dan Lebaran. Tapi, ini pukulan bagi petani lokal kita yang biaya produksinya lebih tinggi
dan hasilnya lebih rendah. Ia menyarankan penerapan kuota impor musiman dan standar kualitas tinggi untuk menjaga keseimbangan pasar.
“Investasi dalam pelatihan dan teknologi pertanian lokal mutlak diperlukan agar daya saing petani kita meningkat,”jelasnya.
Monopoli Bulog
Menyinggung skema investasi business-to-business (B2B) yang dipromosikan untuk menarik modal AS, Edhie menyoroti ketimpangan akses.Seringkali, skema ini menguntungkan korporasi besar. UMKM kita, yang justru menjadi tulang punggung ekonomi, kesulitan bersaing karena keterbatasan modal dan jaringan. Ia juga mengkritisi monopoli Bulog dalam impor pangan. Monopoli memperlambat rantai pasok dan menambah biaya. Harus ada liberalisasi parsial dengan pengawasan ketat agar lebih efisien tapi tetap menjaga ketahanan pangan. Digitalisasi sistem keseimbangan komoditas disebutnya krusial untuk memperbaiki transparansi dan efisiensi.
Menanggapi kritik Amerika terhadap QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), Edhie mempertahankan posisi Indonesia. QRIS dan GPN itu pilar inklusi keuangan kita. Ini melibatkan lebih dari 26 juta pedagang, mayoritas UMKM, dan menciptakan efisiensi biaya transaksi hingga hanya 0,7%, jauh di bawah rata-rata global.
Namun, untuk meredakan tensi dan memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi, ia menyarankan, interoperabilitas dengan sistem global seperti Visa dan Mastercard perlu dikejar. Tapi harus tetap dengan prinsip data localization dan standar keamanan tinggi.
Dengan menjaga kendali atas infrastruktur pembayaran domestik, Indonesia dinilai mampu memperkuat kedaulatan ekonomi digitalnya di tengah tekanan global.
Diplomasi Cerdas
Edhie mengakui bahwa hambatan non-tarif (NTB) seperti izin impor dan laporan surveyor memang menambah biaya perdagangan, tetapi juga melindungi sektor strategis nasional, harus cerdas. Deregulasi NTB non-esensial bisa ditawarkan sebagai konsesi kepada AS, tapi sebagai imbalan, harus mendapatkan akses lebih besar untuk ekspor tekstil dan udang putih ke pasar Amerika. Ia mendukung
digitalisasi melalui Indonesia National Single Window (INSW) untuk mempercepat pemrosesan impor.
Ia menyinggung relaksasi persyaratan kandungan lokal (TKDN) di sektor pusat data juga dinilai sebagai pedang bermata dua. Bisa menarik investasi raksasa teknologi seperti Google dan Microsoft, mempercepat pembangunan infrastruktur digital. Tapi tanpa pengendalian, ada risiko kehilangan kedaulatan atas data nasional.
Edhie mengusulkan pendekatan bertingkat. Relaksasi boleh, tapi wajib disertai transfer teknologi, pelatihan tenaga lokal, dan klausul lokalisasi data di server domestik.Ia mendukung rencana Pusat Inovasi Teknologi berbasis APBN untuk menginkubasi startup lokal dan membangun kekuatan juga inovasi dalam negeri.
Buka Pintu Investasi Global dan Jaga Kedaulatan Lokal
Menurut Edhie, Satgas Deregulasi Indonesia memikul tugas berat, membuka pintu investasi global sambil memastikan kedaulatan nasional tidak terkikis arus liberalisasi tanpa kontrol.
Satgas Deregulasi harus menjadi benteng, bukan sekadar jembatan. Membuka investasi, tapi jangan sampai menyerahkan kedaulatan sumber daya dan nasib buruh kepada mekanisme pasar yang tak berjiwa. Dalam penilaiannya, sektor strategis seperti energi, mineral, lingkungan, dan tenaga kerja harus mendapatkan perhatian khusus. Ia mengingatkan bahwa nikel,yang menyumbang hampir 50% pasokan dunia, bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi alat geopolitik dalam diplomasi global.
“Jangan anggap remeh nikel. Ia bukan hanya logam, tapi instrumen politik masa depan. Kehilangan kendali atas nikel berarti menggadaikan posisi tawar Indonesia di percaturan dunia,” ujarnya
Perlindungan terhadap sektor padat karya, seperti tekstil dan manufaktur yang menyumbang 15% PDB nasional, harus menjadi prioritas dalam skema deregulasi. Menurutnya, eksploitasi buruh bukan hanya soal moral, tetapi juga soal menjaga stabilitas ekonomi.
Membiarkan buruh diperas dalam nama investasi, bukan hanya kehilangan martabat, kita menciptakan bom waktu sosial- ekonomi .
“Transparansi bukan pelengkap, itu nyawa deregulasi. Tanpa indikator dampak ekonomi yang jelas dan audit publik rutin, kita hanya berpindah dari birokrasi korup ke deregulator korup,” katanya.
Tumbal Globalisasi
Dalam skema negosiasi global, Edhie memperingatkan ancaman skenario terburuk. Indonesia memberikan konsesi berlebihan tanpa imbal balik sepadan dari negara mitra, khususnya Amerika Serikat.
“Kalau kita menyerah pada tekanan tarif AS tanpa mengamankan timbal balik yang adil, kita sedang menulis resep untuk deindustrialisasi,” ungkapnya.
Menggunakan analogi Prisoner’s Dilemma dalam teori permainan, Edhie menilai strategi menyerah tanpa kalkulasi matang akan membuat Indonesia menanggung defisit perdagangan membengkak, pengangguran naik, dan sektor industri hancur. Sebagai gantinya, ia mengusulkan strategi tit-for-tat, mengaitkan setiap konsesi dengan komitmen konkret dari AS, seperti penghapusan tarif tekstil atau investasi di hilirisasi nikel.
Setiap konsesi harus berbanding lurus dengan imbal balik nyata. Jangan pernah berasumsi goodwill itu gratis di meja negosiasi global. Lebih jauh, ia menekankan pentingnya diversifikasi
mitra dagang, mengurangi ketergantungan berlebih pada AS.
Pemimpin Regional
Edhie juga melihat peluang besar. Jika negosiasi dijalankan dengan cerdas dan presisi, Indonesia bisa memperkuat posisinya sebagai pemimpin ekonomi regional. Dengan kekuatan mengingatkan, langkah ini harus disertai dengan reformasi domestik: penyederhanaan izin investasi, pembangunan infrastruktur 5G, serta investasi pada pusat inovasi energi hijau.
“Jangan hanya berharap dari negosiasi luar negeri. Tanpa perbaikan internal, kita hanya membangun istana pasir,” katanya.
Ia menekankan bahwa akses ke CPTPP dan penguatan posisi di BRICS adalah langkah kunci untuk memperluas jaringan perdagangan Indonesia. Dengan strategi ini, menurut Edhie, Indonesia bisa menciptakan pertumbuhan inklusif, menjaga kedaulatan sumber daya, sekaligus mempercepat transformasi menuju ekonomi digital dan hijau.
*Telah dipublikasikan di Majalah Ekonomi Indonesia
Sustainable Development Goals