
Gejolak ekonomi global kembali mengguncang pasar keuangan Indonesia. Kebijakan tarif impor baru yang diumumkan oleh Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor, menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan. Dampak dari perang dagang dan ketegangan geopolitik pun kian terasa, tidak hanya bagi pasar modal, tetapi juga terhadap sektor riil dan kestabilan ekonomi nasional.
Untuk memahami lebih dalam situasi ini, tim Humas FEB UGM mewawancarai Pakar Investasi, Keuangan, dan Perbankan UGM sekaligus Ketua Program Studi Manajemen FEB UGM, I Wayan Nuka Lantara, Ph.D. Berikut petikan wawancara dengan I Wayan Nuka Lantara pada Rabu, 16 April 2025.
1. Apakah bisa dijelaskan apa yang menjadi penyebab utama turunnya IHSG pasca kebijakan tarif impor baru AS diberlakukan?
Pergerakan pasar saham memang selalu mengalami dinamika. Tidak ada saham yang selamanya naik, begitu pula tidak ada yang selamanya turun. Ketika terjadi kepanikan seperti panic selling, harga saham bisa turun drastis. Namun ketika masyarakat menyadari bahwa kepanikan tersebut adalah bentuk overreaction, pasar perlahan kembali rasional. Pada titik inilah investor justru melihat peluang, dan mulai masuk membeli saham-saham yang sudah jatuh terlalu dalam, sehingga permintaan meningkat dan harga pun naik.
Situasi ini juga dipengaruhi oleh dinamika geopolitik global. Ketika Trump mengumumkan kenaikan tarif secara sepihak, banyak negara merespon, termasuk China yang memilih untuk melawan secara frontal. Namun lambat laun terjadi kompromi dan titik temu antara pihak-pihak yang berseteru yang membuat suasana pasar mulai tenang meski belum sepenuhnya optimis.
Di sisi lain, beberapa negara termasuk Indonesia turut melakukan penyesuaian kebijakan seperti negosiasi ulang serta pemetaan portofolio impor dan ekspor yang lebih menguntungkan kedua belah pihak. Ini memberikan sinyal bahwa kondisi global yang semula pesimistis mulai menunjukkan perbaikan, meskipun belum stabil sepenuhnya.
2. Sejauh ini, bagaimana respons pasar keuangan Indonesia terhadap kebijakan tersebut? Apakah ada sinyal pemulihan?
Respons pasar keuangan Indonesia terhadap kebijakan tarif ini masih menunjukkan ketidakstabilan dalam jangka pendek. Hingga saat ini, belum ada kebijakan atau stimulus yang cukup kuat untuk menciptakan sentimen positif yang berkelanjutan. Neraca pembayaran mengalami defisit, utang jatuh tempo makin dekat, dan gelombang PHK mulai terjadi di berbagai sektor. Sampai saat ini belum ada kebijakan besar yang mampu mendorong pasar bergerak positif secara konsisten.
Eskalasi perang dagang yang terus berlangsung, terutama antara AS dan China, menambah ketidakpastian yang membuat pasar cenderung bersikap hati-hati. Meskipun ada momen optimisme sesaat, pasar tetap berada dalam fase penyesuaian yang fluktuatif. Hal ini juga diperburuk oleh faktor-faktor domestik, seperti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tekanan terhadap cadangan devisa negara. Indikator lain seperti net buy dari investor asing juga belum terlihat, karena saat ini justru investor asing cenderung menjual daripada membeli.
3. Dampak dari kebijakan AS terhadap perekonomian Indonesia seperti apa dan sektor atau industri mana saja yang paling terdampak dari kebijakan tarif impor AS ini?
Kebijakan tarif AS berdampak langsung terhadap beberapa sektor penting dalam perekonomian Indonesia, khususnya sektor ekspor komoditas seperti pertambangan dan pertanian. Ketika harga komoditas seperti batubara menurun akibat penurunan permintaan global, penerimaan negara dari pajak ekspor juga ikut berkurang. Dampaknya bukan hanya pada pendapatan negara, tetapi juga pada produk domestik bruto (PDB). Selain itu, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS membuat biaya impor semakin tinggi, sehingga memperbesar ongkos produksi dan mengurangi profitabilitas perusahaan. Sektor-sektor yang sangat tergantung pada bahan baku impor pun turut merasakan tekanan yang besar.
4. Menurut Bapak, apakah pelemahan IHSG ini bersifat sementara atau ada potensi berkepanjangan?
Melihat kondisi tersebut, pelemahan IHSG tampaknya tidak bersifat sementara. Selama tidak ada perbaikan fundamental dan kebijakan yang bisa memperkuat kepercayaan pasar, tren fluktuatif akan terus terjadi. Bahkan, situasi ini berpotensi berlangsung lebih lama jika ketegangan perdagangan global tidak mereda dan tidak ada upaya nyata untuk menciptakan stabilitas dari dalam negeri.
5. Bagaimana pengaruh kebijakan ini terhadap sentimen investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri?
Kebijakan ini juga memengaruhi sentimen investor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyak investor yang mengambil posisi wait and see karena ketidakpastian yang tinggi. Investor asing, khususnya, masih cenderung melakukan aksi jual dibanding membeli, yang tercermin dari data net sell di pasar saham. Sentimen negatif ini juga memperlambat perdagangan dan mendorong investor bersikap lebih konservatif, bahkan pesimistis, terhadap prospek jangka pendek.
6. Apa risiko jangka menengah hingga panjang yang perlu diwaspadai oleh pemerintah dan pelaku pasar?
Dalam jangka menengah hingga panjang, risiko yang harus diantisipasi mencakup volatilitas nilai tukar rupiah, peningkatan biaya produksi, serta beban utang luar negeri yang membengkak akibat pelemahan rupiah. Perusahaan yang bergantung pada bahan impor atau memiliki utang dalam dolar akan menjadi yang paling rentan. Selain itu, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka efek sosial seperti meningkatnya pengangguran dan ketidakstabilan sosial bisa menjadi ancaman serius yang perlu ditangani sejak dini.
7. Langkah mitigasi apa yang bisa dilakukan oleh investor ritel maupun institusi dalam menghadapi kondisi ini?
Untuk menghadapi kondisi ini, investor, baik ritel maupun institusi, perlu melakukan langkah mitigasi yang tepat. Diversifikasi portofolio, manajemen risiko yang baik, serta analisis fundamental yang lebih hati-hati menjadi strategi utama. Investor juga harus mampu mengendalikan diri agar tidak mudah terpengaruh oleh kepanikan sesaat, dan tetap berpegang pada tujuan investasi jangka panjang yang rasional.
8. Menurut Bapak, bagaimana seharusnya pemerintah merespons kebijakan ini? Apakah perlu diplomasi dagang atau stimulus tertentu?
Pemerintah sendiri seharusnya merespons kebijakan tarif ini dengan pendekatan diplomasi dagang. Mengingat Indonesia tidak memiliki kekuatan ekonomi sebesar negara adidaya seperti China, maka pendekatan melalui meja perundingan dan negosiasi menjadi langkah yang paling strategis. Selain itu, pemerintah juga perlu memetakan kembali negara mitra dagang dan memberikan stimulus kepada sektor-sektor yang terdampak, termasuk memperluas akses pasar ke negara-negara yang belum tergarap seperti kawasan Afrika atau Asia Selatan.
9. Apakah dalam kondisi seperti ini, ada peluang baru yang bisa dimanfaatkan Indonesia? Misalnya, memperkuat pasar domestik atau menjalin kemitraan dagang baru?
Di tengah tekanan global ini, Indonesia sebenarnya memiliki peluang untuk memperkuat pasar domestik. Jika produk lokal mampu diserap oleh masyarakat dan ditopang oleh daya beli yang memadai, maka pasar dalam negeri bisa menjadi alternatif penyelamat perekonomian. Selain itu, membuka kemitraan baru dan mengembangkan produk-produk bernilai tambah juga bisa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada pasar-pasar tradisional yang sedang mengalami tekanan.
10. Sebagai pakar keuangan dan akademisi, apa pesan Bapak bagi masyarakat umum yang masih awam dalam menyikapi fluktuasi pasar seperti ini?
Sebagai penutup, bagi masyarakat umum yang belum terlalu paham dinamika pasar, penting untuk tetap tenang dan rasional. Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu ini, masyarakat disarankan untuk mempertahankan pekerjaan yang ada, mengelola keuangan dengan lebih bijak, dan menghindari pengeluaran yang tidak penting. Pemerintah juga harus lebih aktif dalam menciptakan lapangan kerja baru dan mendukung masyarakat yang terdampak, agar efek sosial dan ekonomi yang lebih buruk bisa dihindari.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals