Perlindungan untuk Suara yang Terabaikan: Diskusi Penciptaan Tempat Kerja yang Aman
- Detail
- Ditulis oleh Adella
- Kategori: Berita
- Dilihat: 700
Jumat (20/10), Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) mengadakan acara focused group discussion dengan tema “Penciptaan Tempat Kerja yang Bebas Kekerasan dan Pelecehan”. Acara ini bertujuan untuk menggali isu-isu terkait dengan penciptaan lingkungan kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Hal ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Kesetaraan Gender (5); Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (8); Berkurangnya Kesenjangan (10); Perdamaian, Keadilan, dan Kelembagaan yang Tangguh (16); serta Kemitraan untuk Mencapai Tujuan (17). Acara diawali dengan sambutan oleh Prof. Dr. Eduardus Tandelilin, M.B.A., Direktur Magister Manajemen (MM) Kampus Jakarta. Beliau menekankan pentingnya peran kampus dan akademisi dalam membantu menyelesaikan salah satu isu sentral di Indonesia, yaitu ketenagakerjaan dan sumber daya manusia.
Kegiatan ini diselenggarakan di Magister Manajemen (MM) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Kampus Jakarta dan dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan. Kepala LM, Sari Sitalaksmi, berperan sebagai moderator dalam acara ini. Melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari berbagai sektor, diharapkan dapat merumuskan solusi dan rekomendasi yang konstruktif dalam upaya menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung hak-hak karyawan. Dari kalangan akademisi, hadir Kantha Dayaram, Associate Professor dari University of Curtin, Australia. Dari pihak pemerintah, hadir Nurdin dari Kementerian Ketenagakerjaan; Dr. Ir. Lies Rosdianti, M.Si., Kepala Biro Data dan Informasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA); dan Ir. Prijadi Santoso, M.Si., Plt. Sekretaris Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KPPPA.
Para perwakilan dari praktisi juga turut serta dalam diskusi ini. Myra M. Hanartani, S.H., M.A., (Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia/APINDO); Tina T. Kemala Intan, Reni Yustiani, dan Endang Suraningsih (pengurus inti Srikandi BUMN); Dharma Syahputra (Direktur PT Kimia Farma, Tbk); Pambudi Sunarsihanto (Direktur PT Kapal Api Global); dan Miftahudin (Deputi Badan Pengelola Keuangan Haji). Adapun lembaga independen diwakili oleh Tiasri Wiandani, seorang komisioner dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Serikat pekerja juga memiliki suaranya dalam diskusi ini, dengan kehadiran Kun Wardhana, PhD, yang menjabat sebagai Direktur UNI Global Union Asia dan Pasifik, serta Ir. Idrus, MM, yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI).
Kekerasan dan pelecehan di tempat kerja merupakan sebuah hal yang sangat marak terjadi di berbagai negara dan harus disikapi dengan serius. Pada tahun 2019, International Labour Organization (ILO) menetapkan Konvensi Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan No. 190 dan Rekomendasi ILO No. 206. Konvensi ini merupakan standar perburuhan internasional pertama yang berupaya melindungi pekerja dan menciptakan tempat kerja yang bermartabat dan terhormat. Sebagai bahan referensi, Prof. Kantha menyampaikan bahwa Australia telah mengalami proses ratifikasi yang sangat sulit.
Penegakan aturan dan peran serta setiap pemangku kepentingan adalah tantangan utama dalam melindungi pekerja dari situasi ini. Sinkronisasi menjadi syarat mutlak yang harus dilakukan. Australia telah secara kontinu melakukannya selama hampir 40 tahun, yakni sejak dikeluarkannya Sex Discrimination Act tahun 1984. Walaupun sudah melakukan ratifikasi pada pertangahan Juni 2023, Australia masih harus bekerja keras untuk penyiapan kelembagaan dan ekosistem sebelum in force pada Juni 2024.
ILO Jakarta telah mendorong upaya ratifikasi melalui serangkaian program sosialisasi dan edukasi. Demikian juga dengan kementerian-kementerian terkait yang sudah mengeluarkan ragam kebijakan dan regulasi. Dari sisi korporasi, gerakan ini telah direspon positif oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan mengeluarkan Respectful Workplace Policy. Serikat pekerja juga mengambil peran sentral dan progresif dalam merespon hal tersebut, sebagai contoh yakni Uni Global Asia dan Pacific yang mengeluarkan panduan pelatihan untuk serikat pekerja terkait konvensi ILO ini.
Berangkat dari insiden diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tempat kerja, Komnas Perempuan juga membuat kajian urgensi ratifikasi. Upaya-upaya tersebut menjadi bukti kuat bahwa penciptaan tempat kerja yang terhormat dan bermartabat telah menjadi keprihatinan bersama. Merespons hal tersebut, para pemangku kepentingan melakukan suatu tindakan nyata untuk memeranginya. Meski demikian, tak dapat ditampik bahwa isu kekerasan dan pelecehan tidak akan serta merta hilang dari dunia kerja sehingga terus mensyaratkan konsistensi dalam pencegahannya.
Dengan latar belakang tersebut, FGD ini menyimpulkan pentingnya penciptaan ekosistem tempat kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Secara spesifik, forum menyepakati bahwa ekosistem yang kokoh ditopang oleh empat pilar, yaitu sinkronisasi regulasi, pendampingan dan pendanaan, kerja sama dengan setiap pemangku kepentingan, serta pemutakhiran.
Pertama, ragam kebijakan perlindungan tenaga kerja sudah dikeluarkan, tetapi dianggap belum terlalu sinkron. Efektivitas regulasi perlindungan tenaga kerja perlu memperhatikan keseluruhan alur proses, mulai dari faktor penyebab, seperti lemahnya pendidikan dasar di sekolah/keluarga, regulasi pemerintah terkait ketenagakerjaan, dan peraturan perusahaan; mitigasi, seperti pelatihan yang berkesinambungan dan konsisten, penempatan safe workplace menjadi KPI manajemen, dan kebijakan SDM yang pro safe workplace; hingga pendampingan terhadap korban, seperti upaya lapor berwajib, pendanaan, serta pemulihan kesehatan fisik dan mental.
Kedua, dibutuhkan perhatian serius terhadap pendampingan dan pembiayaan atas upaya korban pascainsiden, misalnya untuk mencari keadilan atau pengobatan. Kondisi psikologis korban nyaris tidak terlindungi selama menjalani proses ini sehingga sering berakibat fatal. Instansi seperti BPJS Kesehatan, LPSK, dan APH (Aparat Penegak Hukum) diharapkan mempunyai andil lebih besar.
Ketiga, setiap pemangku kepentingan diharapkan dapat berperan lebih aktif. Artinya, partisipasi pemangku kepentingan tidak sekadar bertujuan menggugurkan kewajiban kelembagaan. Koordinasi antara instansi di tingkat pusat dan daerah pun sifatnya vital. Isu seperti ketersediaan dan pengembangan kapasitas inspektur/pengawas/satgas perlu didukung oleh sumber daya yang memadai sehingga mitigasi dan penanganan dapat berjalan masif dan sistematis. Hal ini dapat diwujudkan, salah satunya melalui edukasi terhadap serikat pekerja demi terciptanya kolaborasi yang efektif.
Keempat, pemutakhiran terhadap pengetahuan dan mitigasi efektif terhadap bentuk-bentuk kekerasan kekinian juga bersifat penting. Pada era digital, bentuk kekerasan semakin beragam. Menyikapi hal tersebut, regulasi maupun peraturan perusahaan yang relevan perlu segera diterapkan sebagai respons.
Penulis : Sari Sitalaksmi, M.Mgt., Ph.D.
Editor : Adella Wahyu Pradita