Menelisik Peluang dan Tantangan Ekonomi Hijau di Indonesia
- Detail
- Ditulis oleh Adella
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3257
Kolaborasi multipihak sangat diperlukan untuk menjawab tantangan dan memaksimalkan peluang dalam upaya transformasi Indonesia menuju ekonomi hijau (green economy). Hal tersebut mengemuka dalam Green Economy Talkshow yang menjadi salah satu rangkaian acara Economics Care Environment (ECAN) 2024 yang berlangsung pada Sabtu (10/5) di Auditorium Gedung Pusat Pembelajaran Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Talkshow bertajuk "Growing Resilient Economies through Environmental Narratives" ini diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB UGM bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia. Dalam talkshow ini menghadirkan empat narasumber utama yaitu Faisal H. Basri, S.E., M.A., ekonom senior Indonesia sekaligus dosen FEB UI, Tiza Mafira, S.H., LL.M., Direktur Climate Policy Initiative Indonesia, Tata Mutasya, S.E., M.A., Senior Campaign Strategist Greenpeace International, serta Sekar Utami Setiastuti, S.E., M.Sc., Ph.D., peneliti dan dosen FEB UGM.
Faisal H. Basri, S.E., M.A., dalam kesempatan itu menyoroti berbagai risiko geopolitik tahun 2024 seperti ketegangan Rusia-NATO, serangan siber, persaingan strategis AS-Cina, dan risiko iklim yang kian meningkat. Dia menekankan bahwa ekonomi hijau, menurut UNEP, harus rendah karbon, efisien dalam sumber daya, dan inklusif secara sosial. “Ini berarti investasi publik dan swasta harus diarahkan pada aktivitas ekonomi yang mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, serta mencegah hilangnya keanekaragaman hayati,” tuturnya.
Tak hanya itu, Faisal juga menekankan pentingnya mengadopsi pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang. Ia juga menegaskan pentingnya reformasi kebijakan yang memastikan keadilan antar generasi. “Perlu ada perubahan dalam kebijakan fiskal dan pengelolaan lingkungan untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan dan adil bagi semua pihak,” ucapnya.
Sementara terkait penyusunan kebijakan publik, termasuk ekonomi hijau, Tiza Mafira, S.H., LL.M., menyampaikan pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan. Proses pembuatan kebijakan yang melibatkan masyarakat memastikan representasi yang lebih luas, relevansi, efektivitas, dan keberlanjutan kebijakan, dengan pendekatan holistik yang menjaga pertumbuhan ekonomi serta kelestarian lingkungan.
Perubahan paradigma ekonomi turut disampaikan oleh Tata Mutasya, S.E., M.A. Ia menyebutkan perlunya mengubah paradigma ekonomi lama yang menganggap kerusakan lingkungan sebagai biaya normal pembangunan ekonomi. Menurutnya, perekonomian tidak boleh menggunakan sumber daya yang melebihi kapasitas regeneratif alam mengalami (overshoot) dan gagal memenuhi kebutuhan dasar masyarakat (shortfall). “Design to regenerate dan create to distribute harus menjadi inti dari pembangunan ekonomi untuk memastikan sistem yang memperbaiki lingkungan dan mendistribusikan nilai secara adil,” tegasnya.
Untuk mendorong ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan (well-being economy), Tata mengusulkan beberapa langkah kunci. Pertama, mengubah paradigma dari value extraction ke value creation, yaitu pembangunan ekonomi tidak merusak lingkungan dan memberikan kesempatan bagi alam untuk pulih. Kedua, reformasi fiskal termasuk pajak tinggi bagi kelompok terkaya (crazy rich) dan para pencemar lingkungan serta pengeluaran APBN, APBD, dan BUMN untuk barang-barang umum dan transisi hijau. Ketiga, sektor swasta harus beralih ke bisnis hijau, membangun energi bersih dan terbarukan, serta menetapkan target pengurangan emisi nol di 2050. Terakhir, inovasi dan teknologi perlu dikembangkan di level kota, daerah, dan sektor swasta untuk mendukung transformasi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Sementara itu, Sekar Utami Setiastuti, S.E., M.Sc., Ph.D., pada talkshow tersebut banyak menyoroti soal ekonomi polusi dan dampak perubahan iklim. Ia mengatakan bahwa produksi ekonomi menyebabkan kerusakan lingkungan yang merugikan sumber daya dan kesejahteraan lebih daripada nilai barang yang dihasilkan. Polusi menciptakan biaya sosial yang lebih tinggi dari biaya privat sehingga jumlah optimal produksi harus lebih kecil dari jumlah keseimbangan pasar. Kondisi tersebut memunculkan risiko perubahan iklim, baik risiko fisik seperti pemanasan global yang menyebabkan perubahan bertahap dan bencana alam ekstrim maupun risiko transisi terkait pergeseran menuju ekonomi hijau.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Sekar menekankan perlunya kebijakan mitigasi dan adaptasi iklim yang terkoordinasi. Indonesia telah mengadopsi agenda nasional untuk mengatasi perubahan iklim melalui diversifikasi dan konservasi energi. Model keseimbangan umum stokastik dinamis (DSGE) lingkungan menunjukkan bahwa kebijakan moneter dan fiskal dapat mengurangi emisi dan stok karbon di atmosfer meskipun juga dapat menurunkan produksi hijau.
“Meskipun negara-negara dunia, termasuk Indonesia telah berjanji untuk mengurangi emisi karbon pada tahun 2030, penerapan kebijakan seperti pajak karbon dan cukai plastik tidaklah mudah. Oleh sebab itu, diperlukan insentif finansial yang lebih besar melalui sektor perbankan atau langsung dari pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan inovasi hijau, terutama ketika pendekatan ekonomi tradisional gagal,” paparnya.
Reportase: Adella Wahyu Pradita
Sustainable Development Goals