- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3152
Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Dr. Anggito Abimanyu, M.Sc., menilai pengajuan dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar untuk masing-masing anggota DPR melanggar undang-undang. Tidak ada aturan dalam UU bahwa anggota legislatif dapat mengajukan dan mengelola dana dari APBN. "Tidak ada UU yang mengatur DPR bisa mengajukan dana dari APBN. Jika ada, maka menyalahi UU," kata Anggito dalam kuliah umum di Auditorium Magister Manajemen (MM) UGM, Kamis (10/6).
Menurut Anggito, tugas DPR adalah mengesahkan anggaran dan membahasnya dengan pemerintah. "Pemerintah mengusulkan, membahas, dan melaksanakan anggaran tersebut," katanya. Pengelolaan dana APBN secara baik dan benar dimaksudkan untuk mendukung kebijakan moneter dan fiskal. Meskipun demikian, tetap saja banyak muncul penyalahgunaan anggaran negara yang dilakukan oleh para menteri, anggota DPR, gubernur, dan bupati. "Inilah tantangan bagi lembaga terkait yang berwenang mengawasinya," ujarnya.
Atas polah anggota DPR ini, Anggito merasa tidak asing lagi. Diakuinya bahwa selama sepuluh tahun dirinya menghabiskan energi cukup banyak setiap kali melakukan pembahasan anggaran dengan DPR. Kendati begitu, yang paling banyak menentukan hasil akhir keputusan di DPR tetaplah mereka yang memiliki kursi mayoritas. Oleh karena itu, Anggito selalu berprinsip menjalin hubungan harmonis berjarak dengan para anggota DPR. "Saya lelah selama sepuluh tahun menemukan kelakuan mereka yang macam-macam," ungkapnya.
Meski anggaran negara harus disetujui DPR, tidak serta-merta DPR mengajukan anggaran semaunya untuk digunakan mereka sendiri. Dikatakan oleh dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM ini, dana APBN tidak dapat digunakan untuk hal yang tidak menjadi skala prioritas. Menurutnya, dana APBN sangat dibutuhkan untuk meningkatkan petumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. "APBN tidak ubahnya sebagai jangkar perekonomian nasional," tambahnya.
Beruntung, APBN dalam sepuluh tahun terakhir telah menunjukkan prestasi yang cukup mengagumkan. APBN menjadi indikator kenaikan peringkat utang negara yang dinilai oleh dunia internasional dalam kondisi aman dari beban utang terhadap PDB. Kondisi sebaliknya, dicontohkan Anggito, adalah terjadinya krisis keuangan di Eropa yang dipicu oleh tingginya defisit anggaran dan kenaikan beban utang terhadap PDB, seperti yang dialami Yunani, Portugal, Italia, dan Spanyol.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur MM UGM, Dr. Lincolin Arsyad, dalam sambutannya mengatakan kembalinya Anggito ke kampus UGM tidak ubahnya acara pulang kampung yang dilakukan oleh orang-orang saat mudik lebaran. "Pulang kampung itu enak sekali, apalagi setahun sekali. Semoga Pak Anggito betah pulang kampung selamanya ke kampus UGM," katanya.
Sementara itu, Dekan FEB UGM, Prof. Dr. Marwan Asri, M.B.A., menuturkan saat kembali ke kampus UGM, Anggito telah menyampaikan komitmennya untuk kembali menekuni karir sebagai dosen, peneliti, layaknya akademisi lainnya. "Sebenarnya, Pak Anggito kembali di saat waktu kurang pas," kata Marwan, yang membuat hadirin terdiam sesaat. "Beliau datang saat waktu mendekati ujian akhir semester. Jadi, dia wira-wiri belum ngajar. Saya katakan, mengajar tidak hanya di dalam kelas, bisa dalam bentuk kuliah umum atau jadi pembicara seminar. Ini open lecture loh, Pak! Ojo ngonek-ngoneke sopo-sopo (jangan menyinggung-nyinggung orang lain)!" pesan Marwan yang disambut tawa hadirin.
Kuliah umum yang disampaikan Anggito kali ini mengambil tema "Ekonomi Politik Anggaran dan Dunia Usaha". Dalam acara tersebut, hadirin juga dihibur dengan puisi "Kita Rindu Menaiki Gerbong Cahaya" oleh penyair Taufik Ismail. Setelah Anggito selesai menyampaikan kuliah selama 45 menit, seniman serba bisa, Butet Kartaradjasa, naik ke panggung menampilkan kemampuannya bermonolog. "Kepulangan Anggito menunjukkan masih adanya orang memiliki moral di negeri ini. Semoga bisa menginspirasikan orang lain untuk bersikap," ujar Butet di akhir monolognya.
Di akhir acara, Anggito berkesempatan berkolaborasi dalam bermain musik dengan musisi Dwiki Darmawan. Ternyata, Anggito terbukti tidak hanya mumpuni dalam mengelola anggaran APBN, tetapi juga cukup piawai memainkan alat musik suling.
Sumber: www.ugm.ac.id
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2501
Survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pelayanan birokrasi terburuk. Hasil survei pada tahun 2010 telah memosisikan Indonesia pada peringkat kedua (8,59) setelah India (9,41). Demikian halnya terkait dengan kasus korupsi, survei menunjukkan Indonesia menempati peringkat pertama negara terkorup di Asia-Pasifik di tahun 2010 diukur dari negara-negara yang mengalami kemajuan ekonomi cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Potret kasus korupsi yang sudah mengakar, terutama di kelembagaan sejak 32 tahun lalu, telah membuat Indonesia menjadi kian terpuruk di banyak sisi. Korupsi yang terjadi secara sistemik telah membuat setiap anak bangsa di negeri ini harus berjuang secara sistemik, terencana, dan penuh kesungguhan untuk melawan korupsi. Oleh karena itu, perjuangan melawan korupsi pun sudah seharusnya tidak lagi dilakukan dengan cara “parlemen jalanan” seperti demonstrasi, berpanas-panasan, berteriak, dan membuat macet jalan. Namun, hal itu dapat diperjuangkan melalui kompetensi uji keilmuan, pengkajian, dan penelitian yang berbasis data.
Cara-cara seperti itulah yang kemudian ditempuh oleh Tim PKM-P Social Cost of Corruption, Fakultas Pikologi UGM, dalam mengupas masalah korupsi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM belum lama ini. Tim yang terdiri atas Azmy Basyarahil, Dani Aufar, Yurisa Nurhidayati, Ridwan Budiman, dan Diany Ufieta ini menggelar seminar bertajuk ”Koruptor Dilarang Kaya”.
Kegiatan seminar hasil kerja sama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis (BEM FEB) UGM dan didukung Lembaga Mahasiswa Psikologi, Himpunan Mahasiswa Jurusan Komap Fisipol, dan BEM KM UGM ini menghadirkan empat pembicara yang dinilai pakar di bidang korupsi. Mereka adalah Rahmat Hidayat, Ph.D. (pakar psikologi ekonomi UGM), Purwo Santoso, Ph.D. (analis kebijakan Fisipol), Rimawan Pradiptyo, Ph.D., dan Danang Kurniadi, S.H. (peneliti Pukat Korupsi UGM).
Seminar yang berlangsung di Ruang Audio Visual FEB UGM berjalan sangat menarik karena muncul kolaborasi perspektif antar pembicara. Rahmat Hidayat menyoroti korupsi yang terjadi bersifat daily life corruption, yakni bahwa embrio sikap korupsi telah dimulai dari kebiasaan yang kecil-kecil, seperti mencontek saat ujian, dan dosen terlambat untuk mengajar kuliah. "Peristiwa-peristiwa semacam itu, sadar atau tidak sadar akan berdampak pada korupsi berskala besar, seperti yang terjadi pada instansi pemerintah Departemen Agama," ujarnya. Dari sudut pandang mikro ini, Rahmat menjelaskan proses entrainment, pluralistic ignorance, dan mekanisme induksi dalam organisasi dapat menjadi penyebab tereskalasinya tindak koruptif.
Sementara itu, Purwo Santoso lebih fokus menyoroti biaya pilkada yang sangat mahal karena belum jelasnya makna ”publik” dan ”privat”. Oleh karena itu, ruang-ruang politik, seperti di DPR dan lembaga negara, masih menjadi ladang subur bagi munculnya kasus korupsi. Dilihat dari sudut ekonomi, Harry Gemilang menilai korupsi menghasilkan multiply effect of economy yang sangat luar biasa. Sebagai contoh, ketika seseorang melakukan korupsi dan Mahkamah Agung memutuskan nominal uang yang dikembalikan kepada negara lebih sedikit dibandingkan dengan uang yang dikorupsi, maka para tax payer dari semua lapisan masyarakat lah yang akhirnya akan menggantikan.
Selanjutnya, Danang Kurniadi dari Pukat Korupsi UGM sebagai pembicara terakhir di seminar ini menerangkan sebagian besar kasus korupsi terjadi di pusat kekuasaan di Jakarta, terutama kasus-kasus korupsi pada tahun 2008. Kasus-kasus korupsi inilah yang kemudian menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum. Meski begitu, KPK masih dinilai sebagai lembaga yang dipercaya karena institusi ini masih memiliki citra positif pemberantasan korupsi. "Makanya, lembaga yang berdiri sejak tahun 2003 ini hingga saat ini menjadi 'keranjang sampah'. Lembaga yang secara terus-menerus menerima 'sampah-sampah' yang tak habis diolah oleh kepolisian dan kejaksaan," jelas Danang.
Pada akhir seminar, empat pembicara, moderator, dan peserta sepakat untuk berupaya 'memiskinkan' koruptor. Upaya itu dilakukan dengan cara membangun sebuah gerakan yang sistemis, terencana, elegan, tanpa kekerasan, dan berdasarkan kajian. Gerakan inilah yang disebut Gerakan Intelektual Anti Korupsi.
Sumber: www.ugm.ac.id
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2800
Anggito tidak mengira kehadirannya kembali ke kampus telah ditunggu oleh puluhan wartawan. Ia juga tidak dapat mengelak berbagai pertanyaan wartawan tentang motif pengunduran dirinya sebagai Kepala Kebijakan Fiskal dan memilih kembali sebagai dosen di FEB UGM. "Pada waktu pengumuman Menteri dan Wakil Menteri (Keuangan), Dekan memberikan sms pertama kali kepada saya. Saya sangat tersanjung. Saya katakan saya ingin pulang ke kampus. Pak Marwan membalas, UGM adalah rumah Anda. Sangat besar arti sms itu bagi saya. Tapi, kembali secara fisik dengan membawa kembali keluarga tidak terpikirkan sebelumnya. Ini momen yang luar biasa. Pulang dengan kegembiraan. Pulang tidak membawa kekecewaan dan kepedihan tapi keikhlasan," kata Anggito.
Keinginannya untuk mengajar kembali ke kampus, menurut Anggito, merupakan salah satu bentuk sikap profesional dan hak pribadinya. Surat pengunduran diri sudah ia ajukan kepada Presiden lewat Menteri Keuangan. "Saya sedang mengurus pengalihan status pegawai. Saya masih tersandera permohonan pengunduran diri yang belum dijawab," katanya.
Anggito menyampaikan keinginannya untuk lebih banyak mengajar mahasiswa yang baru masuk semester awal di UGM. Dirinya akan lebih banyak memberikan pengalaman saat menjabat di Kementerian Keuangan dan menanamkan nilai-nilai moral kepada mahasiswa terkait dengan peluang kerja setelah lulus nantinya. "Saya ingin mengajar dua mata kuliah saja, Pengantar Ekonomi dan Ekonomi Indonesia. Mengajar mereka yang baru lulus SMA tentang teori empiris ekonomi Indonesia. Bisa menyampaikan hal-hal yang perlu disiapkan selama sebelum memasuki pekerjaan. Saya juga harus siap memberikan nilai-nilai moral dalam mengajar," ujarnya.
Dekan FEB UGM, Prof. Dr. Marwan Asri, M.B.A., menyambut baik kembalinya Anggito untuk mengajar di FEB. Menurutnya, kehadiran Anggito setidaknya dapat memperkuat percepatan kualitas pendidikan dan penelitian di FEB UGM. "Dengan ilmu yang beliau miliki di bidang akademik dan pengalaman sepuluh tahun di Depkeu, kombinasi ini sangat powerfull untuk FEB dalam mendidik mahasiswa. Tidak hanya teori, tapi pengalaman Pak Anggito bisa di-share, suka duka di birokrasi dan pengalaman membuat anggaran," kata beliau.
Ditambahkan Marwan bahwa kehadiran Anggito juga akan memperkuat bidang penelitian yang dilakukan kalangan peneliti dan staf pengajar FEB UGM, apalagi Anggito memiliki informasi penting yang tidak dimiliki oleh orang lain. "Informasi yang dimiliki Anggito tidak mudah didapat sembarang orang. Karenanya kembalinya Anggito kita sambut riang gembira. Kepada Pak Anggito, selamat datang kembali ke kampus," pungkasnya.
Sumber: www.ugm.ac.id
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 4569
Universitas Gadjah Mada (UGM) mewisuda 1.301 sarjana dan 215 ahli madya untuk Periode III Tahun Akademik 2009/2010. Wisuda dilaksanakan Rabu (19/5), di Grha Sabha Pramana. Lama studi rata-rata Program Sarjana periode ini adalah 4 tahun 5 bulan, sedangkan Program Diploma 3 tahun 5 bulan.
Pada hari yang sama berlokasi di University Center, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM melepas wisudawan/wati Program S1 sebanyak 121 orang dengan rincian sebagai berikut:
- Wisudawan S1 Reguler dan IUP = 83 orang
- Wisudawan S1 Swadaya = 38 orang
Wisudawan terbaik FEB UGM diraih oleh Livannia Marseila, jurusan Manajemen angkatan 2006 dengan IPK 3,91. Segenap civitas akademik Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM mengucapkan selamat kepada wisudawan/wati.
Sumber: wny
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 4865
Krisis keuangan Asia tahun 1997 dimulai dari Thailand dan menyebar dengan cepat ke negara-negara di sekitarnya. Krisis ini terjadi karena kurangnya disiplin pasar finanasial serta adanya moral hazard dari para pelaku kegiatan ekonomi. Tanda/gejala yang penting untuk diperhatikan dari krisis keuangan adalah adanya likuiditas berlebihan dalam waktu lama diikuti dengan efek asset bubble, perilaku investor dan institusi finansial secara bersama-sama, serta adanya perubahan variabel ekonomi penting secara tiba-tiba.
Sebagai salah satu negara yang terkena krisis, Korea Selatan harus mengambil langkah-langkah penting guna mengatasi krisis. Langkah restrukturisasi yang dilakukan berpegang pada prinsip-prinsip, yaitu restrukturisasi keuangan dan swasta/perusahaan secara simultan, dilakukan oleh pemerintah (government-led restructuring), kerangka kerja yang konsisten, serta perbaikan yang cepat dan menyeluruh namun tetap berhati-hati. Respon kebijakan Korea Selatan meliputi enam area, yaitu immediate financial and corporate restructuring, strengthening of financial supervisory system, streamlining of insolvency procedures, advancement of corporate governance system, macroeconomic policy adjustment and strengthening of social safety net, dan active participation in international financial architecture discussion. Tindakan restrukturisasi sektor keuangan, antara lain adalah penutupan 16,5% dari total institusi keuangan dan pengucuran dana yang setara dengan 12% PDB. Penguatan sistem pengawasan keuangan yang independen juga dilakukan untuk memperkuat dan memastikan bahwa restrukturisasi terus berjalan. Kebijakan makro, seperti kebijakan suku bunga, fiskal, dan nilai tukar disesuaikan dengan kondisi perekonomian saat itu. Keberadaan jaring pengaman sosial menjad penting untuk mendukung masyarakat yang terkena dampak krisis.
Dapat dilihat bahwa Korea Selatan melakukan restrukturisasi keuangan dan sektor swasta untuk meningkatkan daya saing serta membangun knowledge economy. Dana dialirkan pada investasi bidang high-tech dan mendorong lebih banyak aktivitas research and development. Kegiatan bisnis dilakukan sesuai standar global. Transparansi dan akuntabilitas sektor swasta dan pemerintah terus ditingkatkan. Sebagai tambahan adalah penguatan kepercayaan sebagai modal sosial untuk penguatan ekonomi. Indonesia dinilai belum melakukan restrukturisasi secara menyeluruh. Masih terdapat over-banking dan kurangnya kapasitas pengawasan dalam sektor keuangan. Belajar dari Korea Selatan maka yang diperlukan adalah kerangka kerja yang konsisten untuk mencegah moral hazard, antara lain dengan membangun badan/lembaga pengawasan serta peraturan/perundangan yang berfokus pada good governance system. Selain itu, perlunya early warning system, jaring pengaman sosial, serta reformasi sektor tenaga kerja. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membangun knowledge economy.
Kuliah Tamu Program M.Si dan Doktor FEB UGM: "Asian Financial Crisis and Korean Structural Reform Policy – Lessons for Indonesia"
Oleh: Dr. Okyu Kwon (KAIST Graduate School of Finance, Former Deputy Prime Minister & Minister of Finance and Economy, Korea)
Sumber: angl
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 5919
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT AA) tahun 2005 telah menghasilkan beberapa poin kesepakatan. Salah satunya adalah deklarasi New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Deklarasi tersebut merupakan wujud konkret pembentukan "jembatan" intra kawasan dengan komitmen kemitraan strategis baru antara Asia dan Afrika, yang mencakup kerja sama ekonomi, solidaritas politik, dan hubungan sosial budaya.
Dr. Sri Adiningsih, M.Sc., tim ahli ekonomi Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM, mengatakan kerja sama NAASP dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama antarnegara Asia-Afrika. Kawasan Asia Afrika adalah wilayah yang dinamis, berkembang, dan menjadi motor kekuatan perekonomian dunia. Kawasan Asia-Afrika merupakan kawasan yang sangat menjanjikan, pertumbuhan ekonominya melebihi pertumbuhan ekonomi dunia. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia mencapai 7,3% dan Afrika 4 %, sementara tingkat pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,1%.
"Jika kita menjalin kerja sama, maka sangat berpotensi untuk meraih keuntungan yang besar karena kawasan tersebut memang cukup menjanjikan. Namun demikian, di ranah domestik juga dibutuhkan berbagai persiapan serta menggali potensi dan mengajak dunia usaha untuk memanfaatkan celah-celah yang ada," paparnya dalam acara "Sosialisasi 55 Tahun KAA: Peran dan Manfaat Kerja Sama NAASP bagi Indonesia" di Hotel Phoenix Yogyakarta, Selasa (6/4).
Disebutkan Adiningsih, saat ini Indonesia baru memanfaatkan kerja sama perdagangan barang dan jasa dengan negara di kawasan Asia. Sementara itu, kerja sama dengan negara Afrika belum banyak digarap karena sebagian besar komoditas ekspor unggulan Indonesia hampir sama dengan komoditas ekspor di kawasan tersebut.
Dirjen Aspasaf Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, T.M. Hamzah Thayeb, dalam pidatonya yang dibacakan oleh Sesditjen Aspasaf Kemlu RI, Kenssy D. Ekaningsih, mengatakan kerja sama di bawah kerangka NAASP berperan sebagai wadah bagi negara-negara anggota untuk berkumpul guna mendiskusikan dan merumuskan program kerja sama. Di samping itu, juga menjadi instrumen bagi pencapaian kepentingan nasional Indonesia. "Melalui NAASP dapat meningkatkan postur politik dan kredibilitas Indonesia di mata dunia. Hal tersebut mampu menaikkan posisi tawar Indonesia di mata dunia serta membantu Indonesia dalam memainkan peran yang lebih sentral dalam hubungan masyarakat dunia," jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan Hamzah Thayeb dalam acara yang digelar PSAP UGM ini, NAASP membuka peluang kerja sama yang lebih luas dengan negara-negara Asia-Afrika bagi Indonesia. Dengan NAASP, Indonesia memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengidentifikasi berbagai peluang yang ada."Yang terpenting untuk ke depannya adalah untuk menjaga kelanjutan serta kesinambungan kerja sama NAASP dengan melibatkan forum antarpemerintah, organisasi subkawasan, dan interaksi masyarakat," imbuhnya.
Drs. Agus Salim, Plh. Direktur KIK Aspasaf Kemlu RI, mengatakan Indonesia telah melakukan berbagai inisiatif dan program di bawah kerangka kerja sama NAASP. Sekitar 20 program telah dilaksanakan dalam rentang waktu 2006-2007. Indonesia juga berkontribusi besar dalam program solidaritas politik dengan menjadi tuan rumah bagi NAASP Ministerial Conference on Capacity Buliding for Palestine tahun 2008. Kegiatan ini merupakan refleksi dukungan nyata Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.
Sumber: www.ugm.ac.id
Halaman 186 dari 196