
Pakar Kewirausahaan dan Ekonomi Sirkular dari Nanyang Technological University Singapura, Prof. Lerwen Liu mendorong generasi muda untuk mengambil peran aktif dalam mendukung keberlanjutan khususnya ekonomi sirkular. Pesan tersebut disampaikan pada saat sesi pemaparannya yang berjudul “Can Young People Drive Circular Economy Transition? Empowering the next generation to rebuild our relationship with Nature” pada hari ketiga Global Summer Week, Rabu (16/7).
Ia membuka kelas dengan mengajak peserta mendefinisikan “sustainability” sesuai dengan perspektif dan pengalaman mereka. Beberapa pandangan yang muncul dari hasil diskusi tersebut adalah pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan masa depan; penyeimbangan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi; relasi dengan kesehatan, kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Melalui hasil diskusi ini, ia menekankan pentingnya empati terhadap dampak ekologis.
“Sekarang kalian semua memiliki baterai di perangkat elektronik kalian. Semua itu berasal dari tambang yang diambil dari bumi. Untuk mengambil itu, kita harus melakukan deforestasi dengan menebangi hutan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Liu menjelaskan bahwa makanan menyumbang lebih dari seperempat emisi global dan pertanian memiliki andil yang besar dalam hal ini. Data Food and Agriculture Organization of United Nations (FAO) mencatat sektor pertanian menjadi penyumbang jejak karbon nomor tiga terbesar dengan mengambil 70% air tawar di bumi. Begitu pula, eutrofikasi karena adanya penggunaan pupuk kimia, pestisidan dan semua bahan kimia yang dipakai dalam pertanian.
“Banyak contoh dari masyarakat kita yang membuang nasi hanya karena sudah dingin dan hanya akan menjadi limbah,” lanjutnya.
Ia menjelaskan proses produksi beras yang menunjukkan tingginya tingkat kehilangan sepanjang rantai pasok beras sekitar 5,65% di lahan pertanian. Lalu sebanyak 2,65% saat penyimpanan, 3,6% saat penggilingan, dan 1% dalam proses distribusi.
“Setelah melewati proses penggilingan dan distribusi, sebagian beras akhirnya membusuk atau kedaluwarsa sebelum dikonsumsi. Ini menandakan pentingnya pendekatan circular economy untuk mengelola limbah pertanian dan memaksimalkan pemanfaatan sisa hasil panen,” ungkapnya.
Liu pun menawarkan solusi untuk memikirkan value chain dari tahap awal yaitu ekstrasi sumber daya, proses produksi, sampai menjadi makanan, hingga akhirnya menjadi sampah.
“Circular economy itu dari ujung ke ujung. Proses produksi beras menghasilkan residu yang dianggap limbah seperti jerami padi, sekam, dan dedak. Padahal, dari sudut pandang ilmuwan, ada kandungan selulosa, lignin, dan silika. Kalau kamu pengusaha, kamu lihat ini sebagai peluang bisnis. Kalau kamu insinyur, kamu bisa mengolahnya jadi bahan bangunan, kemasan, atau bahkan sumber energi,” jelasnya.
Ia kembali menegaskan bahwa semua solusi ini akan bergantung pada akses terhadap teknologi, pengetahuan petani, dan investasi serta dukungan sistem dari pemerintah. Misalnya, tidak sedikit petani di Asia yang membakar sisa-sisa pertanian bukan karena tidak peduli lingkungan, tetapi keterbatasan teknologi dan dana.
Menurutnya, perencanaan produksi pangan yang lebih baik, penggunaan limbah secara bijak, teknologi tepat guna untuk petani, intervensi kebijakan, termasuk dukungan subsidi dari pemerintah dan swasta perlu dilakukan untuk mewujudkan ekonomi sirkular. Hal penting lainnya juga dapat diterapkan oleh konsumen mulai dari hal kecil seperti membawa botol minum sendiri, tas belanja, dan mengurangi belanja impulsif. Manusia dapat mempercepat proses pemulihan bumi melalui green growth dengan menggunakan modal, teknologi, dan pengetahuan yang dimiliki manusia.
Reportase: Shofi Hawa Anjani
Editor: Kurnia Ekaptiningrum
Sustainable Development Goals