- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 4629
Universitas Gadjah Mada (UGM) mewisuda 1.301 sarjana dan 215 ahli madya untuk Periode III Tahun Akademik 2009/2010. Wisuda dilaksanakan Rabu (19/5), di Grha Sabha Pramana. Lama studi rata-rata Program Sarjana periode ini adalah 4 tahun 5 bulan, sedangkan Program Diploma 3 tahun 5 bulan.
Pada hari yang sama berlokasi di University Center, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM melepas wisudawan/wati Program S1 sebanyak 121 orang dengan rincian sebagai berikut:
- Wisudawan S1 Reguler dan IUP = 83 orang
- Wisudawan S1 Swadaya = 38 orang
Wisudawan terbaik FEB UGM diraih oleh Livannia Marseila, jurusan Manajemen angkatan 2006 dengan IPK 3,91. Segenap civitas akademik Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM mengucapkan selamat kepada wisudawan/wati.
Sumber: wny
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 4924
Krisis keuangan Asia tahun 1997 dimulai dari Thailand dan menyebar dengan cepat ke negara-negara di sekitarnya. Krisis ini terjadi karena kurangnya disiplin pasar finanasial serta adanya moral hazard dari para pelaku kegiatan ekonomi. Tanda/gejala yang penting untuk diperhatikan dari krisis keuangan adalah adanya likuiditas berlebihan dalam waktu lama diikuti dengan efek asset bubble, perilaku investor dan institusi finansial secara bersama-sama, serta adanya perubahan variabel ekonomi penting secara tiba-tiba.
Sebagai salah satu negara yang terkena krisis, Korea Selatan harus mengambil langkah-langkah penting guna mengatasi krisis. Langkah restrukturisasi yang dilakukan berpegang pada prinsip-prinsip, yaitu restrukturisasi keuangan dan swasta/perusahaan secara simultan, dilakukan oleh pemerintah (government-led restructuring), kerangka kerja yang konsisten, serta perbaikan yang cepat dan menyeluruh namun tetap berhati-hati. Respon kebijakan Korea Selatan meliputi enam area, yaitu immediate financial and corporate restructuring, strengthening of financial supervisory system, streamlining of insolvency procedures, advancement of corporate governance system, macroeconomic policy adjustment and strengthening of social safety net, dan active participation in international financial architecture discussion. Tindakan restrukturisasi sektor keuangan, antara lain adalah penutupan 16,5% dari total institusi keuangan dan pengucuran dana yang setara dengan 12% PDB. Penguatan sistem pengawasan keuangan yang independen juga dilakukan untuk memperkuat dan memastikan bahwa restrukturisasi terus berjalan. Kebijakan makro, seperti kebijakan suku bunga, fiskal, dan nilai tukar disesuaikan dengan kondisi perekonomian saat itu. Keberadaan jaring pengaman sosial menjad penting untuk mendukung masyarakat yang terkena dampak krisis.
Dapat dilihat bahwa Korea Selatan melakukan restrukturisasi keuangan dan sektor swasta untuk meningkatkan daya saing serta membangun knowledge economy. Dana dialirkan pada investasi bidang high-tech dan mendorong lebih banyak aktivitas research and development. Kegiatan bisnis dilakukan sesuai standar global. Transparansi dan akuntabilitas sektor swasta dan pemerintah terus ditingkatkan. Sebagai tambahan adalah penguatan kepercayaan sebagai modal sosial untuk penguatan ekonomi. Indonesia dinilai belum melakukan restrukturisasi secara menyeluruh. Masih terdapat over-banking dan kurangnya kapasitas pengawasan dalam sektor keuangan. Belajar dari Korea Selatan maka yang diperlukan adalah kerangka kerja yang konsisten untuk mencegah moral hazard, antara lain dengan membangun badan/lembaga pengawasan serta peraturan/perundangan yang berfokus pada good governance system. Selain itu, perlunya early warning system, jaring pengaman sosial, serta reformasi sektor tenaga kerja. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk membangun knowledge economy.
Kuliah Tamu Program M.Si dan Doktor FEB UGM: "Asian Financial Crisis and Korean Structural Reform Policy – Lessons for Indonesia"
Oleh: Dr. Okyu Kwon (KAIST Graduate School of Finance, Former Deputy Prime Minister & Minister of Finance and Economy, Korea)
Sumber: angl
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 6071
Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika (KTT AA) tahun 2005 telah menghasilkan beberapa poin kesepakatan. Salah satunya adalah deklarasi New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Deklarasi tersebut merupakan wujud konkret pembentukan "jembatan" intra kawasan dengan komitmen kemitraan strategis baru antara Asia dan Afrika, yang mencakup kerja sama ekonomi, solidaritas politik, dan hubungan sosial budaya.
Dr. Sri Adiningsih, M.Sc., tim ahli ekonomi Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM, mengatakan kerja sama NAASP dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama antarnegara Asia-Afrika. Kawasan Asia Afrika adalah wilayah yang dinamis, berkembang, dan menjadi motor kekuatan perekonomian dunia. Kawasan Asia-Afrika merupakan kawasan yang sangat menjanjikan, pertumbuhan ekonominya melebihi pertumbuhan ekonomi dunia. Pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia mencapai 7,3% dan Afrika 4 %, sementara tingkat pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,1%.
"Jika kita menjalin kerja sama, maka sangat berpotensi untuk meraih keuntungan yang besar karena kawasan tersebut memang cukup menjanjikan. Namun demikian, di ranah domestik juga dibutuhkan berbagai persiapan serta menggali potensi dan mengajak dunia usaha untuk memanfaatkan celah-celah yang ada," paparnya dalam acara "Sosialisasi 55 Tahun KAA: Peran dan Manfaat Kerja Sama NAASP bagi Indonesia" di Hotel Phoenix Yogyakarta, Selasa (6/4).
Disebutkan Adiningsih, saat ini Indonesia baru memanfaatkan kerja sama perdagangan barang dan jasa dengan negara di kawasan Asia. Sementara itu, kerja sama dengan negara Afrika belum banyak digarap karena sebagian besar komoditas ekspor unggulan Indonesia hampir sama dengan komoditas ekspor di kawasan tersebut.
Dirjen Aspasaf Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, T.M. Hamzah Thayeb, dalam pidatonya yang dibacakan oleh Sesditjen Aspasaf Kemlu RI, Kenssy D. Ekaningsih, mengatakan kerja sama di bawah kerangka NAASP berperan sebagai wadah bagi negara-negara anggota untuk berkumpul guna mendiskusikan dan merumuskan program kerja sama. Di samping itu, juga menjadi instrumen bagi pencapaian kepentingan nasional Indonesia. "Melalui NAASP dapat meningkatkan postur politik dan kredibilitas Indonesia di mata dunia. Hal tersebut mampu menaikkan posisi tawar Indonesia di mata dunia serta membantu Indonesia dalam memainkan peran yang lebih sentral dalam hubungan masyarakat dunia," jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan Hamzah Thayeb dalam acara yang digelar PSAP UGM ini, NAASP membuka peluang kerja sama yang lebih luas dengan negara-negara Asia-Afrika bagi Indonesia. Dengan NAASP, Indonesia memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengidentifikasi berbagai peluang yang ada."Yang terpenting untuk ke depannya adalah untuk menjaga kelanjutan serta kesinambungan kerja sama NAASP dengan melibatkan forum antarpemerintah, organisasi subkawasan, dan interaksi masyarakat," imbuhnya.
Drs. Agus Salim, Plh. Direktur KIK Aspasaf Kemlu RI, mengatakan Indonesia telah melakukan berbagai inisiatif dan program di bawah kerangka kerja sama NAASP. Sekitar 20 program telah dilaksanakan dalam rentang waktu 2006-2007. Indonesia juga berkontribusi besar dalam program solidaritas politik dengan menjadi tuan rumah bagi NAASP Ministerial Conference on Capacity Buliding for Palestine tahun 2008. Kegiatan ini merupakan refleksi dukungan nyata Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.
Sumber: www.ugm.ac.id
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3830
Yogya (KU) – Indonesia siap menghadapi China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA). Hal itu disebabkan potensi ekspor Indonesia ke China lebih tinggi daripada ekspor China ke Indonesia. Apabila Indonesia tidak mengikuti CAFTA dengan China, pasar Indonesia justru terancam oleh ekspansi produk dari ASEAN yang mendapatkan keuntungan atas tersedianya bahan baku produk China yang lebih murah.
"Potensi kenaikan ekspor Indonesia ke China masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan ekspor China ke Indonesia,"kata staf Deputi Bidang Pengembangan dan Rekstrukturisasi Usaha, Kementerian Koperasi dan UKM, Ahmad Djunaedi, mewakili Menteri Negara Koperasi dan UKM RI, Dr. Sjarifudin Hasan, M.M. M.B.A., yang berhalangan hadir dalam Seminar Nasional "Ekonomi Islam dalam Tantangan Perdagangan Bebas". Seminar digelar di Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (30/3).
Disampaikan Djunaedi, ada tiga langkah yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka penanggulangan dampak CAFTA. Pertama, mengembangkan pasar domestik melalui pencegahan impor di perbatasan dan pasar. “Melalui tindakan penertiban pelaku impor dan pengawasan di pelabuhan. Pengawasan awal dengan karantina diperketat, pengawasan HKI dan SNI, pengawasan pelabelan penggunaan bahasa Indonesia dan pengawasan produk-produk inovasi,” terangnya.
Langkah kedua yang akan dikerjakan adalah melakukan peningkatan daya saing produk UMKM. Terakhir, yang ketiga, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dengan cara promosi dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Disebutkan Djunaedi bahwa ada beberapa jenis produk ekspor yang paling dirugikan sebagai dampak CAFTA, di antaranya produk kulit, metal, manufaktur, pakaian jadi, gandum, gula, tebu, padi, beras diproses, dan alat mesin panen. Oleh karena itu, Kementerian Koperasi dan UKM akan mengembangkan pusat inovasi untuk pengembangan produk yang berorientasi ekspor.
Djunaedi mencontohkan Indonesia merupakan penghasil kakao terbesar ketiga di dunia. Setiap tahun, negara ini menghasilkan produksi kakao sebanyak 550 ribu ton. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sepertiga yang dapat diproses menjadi produk. Sementara itu, Malaysia dan Singapura yang memiliki 300 dan 100 ribu ton dapat mengolah semua menjadi produk. Adanya orientasi ekspor bahan mentah kakao inilah yang menyebabkan petani kakao dalam negeri dirugikan oleh para pedagang.
"Kakao yang mahal harganya justru yang sudah difermentasi. Namun, para petani kita sering ditipu pedagang yang menerangkan ke petani jika kakao hasil fermentasi atau tidak harganya tetap sama. Namun, setelah kita cek ke pabriknya langsung, ternyata ada perbedaan harga 5 ribu hingga 10 ribu per kilo," imbuhnya.
Dr. Tri Widodo, staf pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, selaku pembicara dalam seminar tersebut mengemukakan Indonesia saat ini menempati posisi kedua di Asia setelah China untuk kategori industri yang memiliki pekerja dengan tenaga tidak terdidik terbesar. "Kita berada nomor dua setelah China. Diikuti selanjutnya Thailand, sedangkan untuk industri dengan tenaga terdidik dikuasai oleh Jepang dan Korea," pungkasnya.
Sumber: www.ugm.ac.id
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 2714
Ekonom UGM, Dr. A. Toni Prasetyantono, M.A., mengkhawatirkan Uni Eropa akan menjadi ancaman krisis global. Dengan semakin meningkatnya utang di negara-negara Eropa, potensial memunculkan krisis ekonomi global.
“Uni Eropa memiliki karakteristik dengan ekonomi di Amerika dengan jumlah utang yang begitu besar. Sekarang ini, utang Uni Eropa 81,8 persen dari PDB, hampir sama dengan Amerika yang mencapai 84 persen,” kata Toni kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam Diskusi Great Thinker ‘Filantropi George Soros dan Neo Kapitalisme’, di Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, Rabu (24/3).
Adapun China, untuk saat ini belum menjadi ancaman krisis global karena memiliki utang yang hanya 17 persen dari PDB. Kendati begitu, yang perlu disoroti adalah aktivitas bisnis properti di negara tersebut yang dikhawatirkan menjadi ancaman seperti pernah terjadi di Amerika pada 2008 lalu. “China masih oke dari sisi utang luar negeri, tapi aktivitas properti agak mengkhawatirkan,” kata staf pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM ini.
Sementara Indonesia, negara ini berada di posisi cukup aman karena memiliki utang luar negeri sebesar 29 persen dari PDB. Bahkan, dalam dua bulan terakhir pertumbuhan ekonomi dalam negeri justru meningkat. “Saya sempat meramal pertumbuhan ekonomi kita 5,3 persen awal tahun ini. Namun, dari perkembangan dua bulan terakhir, maka angka 6 persen bisa tembus tahun ini,” ujarnya.
Sehubungan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang membaik, hal itu akan berdampak baik pada peningkatan APBN perubahan. “APBN kita bagus akan memberikan stimulus ekonomi yang baik juga sehingga perlu APBN perubahan,” jelasnya.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan masih adanya upaya beberapa anggota DPR yang masih menolak rapat kerja dengan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, untuk pembahasan APBN perubahan, Toni dengan tegas menganggap sikap tersebut merugikan semua pihak. “Sangat mengganggu. Kita tahu APBN kita itu harus direvisi. APBN disesuaikan dengan kondisi terbaru karena ekonomi kita sekarang membaik. Rapat dengan Menkeu penting untuk membahas APBN revisi. Kalau tidak revisi, maka yang rugi kita semua,” jelasnya.
Toni juga menyarankan beberapa anggota DPR untuk menahan diri dan bersikap profesional, apalagi Sri Mulyani saat ini belum terbukti bersalah secara hukum.
Sumber: www.ugm.ac.id
- Detail
- Ditulis oleh FEB UGM
- Kategori: Berita
- Dilihat: 3867
Pengimplementasian UU No. 28 tahun 2009 mengenai pajak daerah dan retribusi daerah dinilai hanya akan menguntungkan kota-kota besar. Sementara itu, bagi kota kabupaten atau daerah terpencil justru akan menjadi suatu beban. Menurut Dr. Ertambang Nahartyo, M.Sc., peneliti Magister Ekonomika Pembangunan (MEP) UGM, adanya pendaerahan pajak hanya akan menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) kota besar, sedangkan PAD kabupaten justru akan mengalami penurunan.
Disebutkan Ertambang, hal itu terjadi karena adanya ketidaksiapan daerah atau kabupaten, baik dalam sistem, infrastruktur, teknologi, maupun sumber daya manusia. "Pendaerahan pajak hanya akan menguntungkan bagi kota besar yang sudah memiliki kesiapan, mulai dari fasilitas, SDM, sampai teknologinya," jelasnya di MEP UGM, Kamis (4/3).
Lebih lanjut disampaikan Ertambang, Jakarta akan menjadi kota yang paling diuntungkan apabila UU tersebut diimplementasikan secara efektif. Sementara di daerah, seperti NTT, Sulawesi, dan Papua, UU tersebut tidak akan berjalan dengan efektif. "Bayangkan saja, hanya untuk menarik pajak yang tidak begitu besar nilainya bisa menghabiskan biaya penagihan yang besar akibat ketidaksiapan fasilitas di daerah. Pemerintah daerah pasti lebih memilih untuk tidak memungut pajak. Hal ini memang tidak akan begitu berpengaruh bagi daerah. Namun secara nasional, kerugiannya benar-benar terasa," tambahnya.
Dikatakan Ertambang bahwa proporsi PAD terhadap pendapatan daerah secara nasional dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2004-2005 terjadi penurunan sebesar 0,08. Selanjutnya, pada 2006-2007, turun menjadi 0,07, dan semakin menurun pada 2008 hanya 0,06. Menurut Ertambang, seyogianya pemerintah mengkaji terlebih dahulu kesiapan setiap daerah sebelum diberlakukannya undang-undang ini.
Melihat kondisi tersebut, MEP UGM berencana akan menyelenggarakan Seminar "Implementasi UU No. 28 Tahun 2009: Transisi, Tantangan, dan Harapan". Seminar yang akan gelar Sabtu, (6/3) di Hotel Haytt ini dimaksudkan untuk mencari solusi transisi agar implementasi undang-undang ini dapat berjalan dengan baik sehingga mampu meningkatkan pendapatan daerah. Selain itu, juga untuk mengantisipasi berbagai persoalan implementasi di daerah dan memperkirakan dampak penerapannya bagi penerimaan pemerintah dan perekonomian daerah.
Sumber: www.ugm.ac.id
Halaman 208 dari 217